Terjatuh dalam Presipitasi
25/10/2013 17:1611 Januari 2010 pukul 05.00 pagi.
Cuaca pagi ini membuat ku malas untuk beranjak dari tempat tidur ku, karena di luar hujan turun cukup lebat. Hujan itu memang menyejukkan, di tambah lagi kalau hujan di pagi hari. Membuat tubuh ini ingin terus bersembunyi di balik selimut. Tapi aku tidak mau terlarut dalam kemalasan ini, aku mencoba untuk membangunkan diri ini, walau masih dalam keadaan kantuk, lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi dan shalat subuh.
Setelah selesai mandi dan shalat, aku langsung merapihkan perlengkapan sekolah ku, aku memang belum sempat merapihkannya, karena asik liburan, jadi semua terlantar. Meski begitu, aku tidak terlalu khawatir karena hari ini, hari pertama ku masuk sekolah setelah liburan semester ganjil selama 1 minggu.
Semua sudah di rapihkan, sekarang saatnya berangkat sekolah, walaupun sedang hujan di luar sana. Seperti biasa aku pergi ke rumah Randy untuk mengajaknya berangkat bareng tapi kali ini dengan mengenakan payung. Sesampainya di rumah Randy..
"Assalamualaikum.."ucapku.
"Randy..Ran.." panggil ku seraya mengetuk pintu rumahnya. Selama beberapa kali aku mengulangnya, namun tak ada jawaban. Mungkin dia sudah berangkat duluan Pikir ku sambil meninggalkan rumah Randy dengan perasaan heran. Nggak biasanya Randy berangkat duluan, nggak telat pula, tumben banget ucap ku dalam hati sambil tertawa kecil memikirkan Randy yang biasanya selalu telat.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ke dalam kelas. Di kelas ternyata banyak yang saling melepas rindu, ada yang cerita -cerita pengalaman liburannya, ada yang langsung bercanda, ada yang berpelukan ( tapi hanya para cewek saja ). Dan aku langsung duduk di bangku dan hanya terdiam melihat teman - teman ku.
"Eh San, diem aja lu, nggak kangen apa sama gua?" ledek Aan seraya tertawa.
"Nggak, ngapain gua kangen sama lu"jawabku dingin sambil merapihkan tas.
'Yaelah San, bercanda doang" ucap Aan sedikit sewot. Dan aku membalasnya dengan senyuman. Aan pun lantas berlalu meninggalkan ku. Tidak lama kemudian Iqbal datang dan duduk di sebelahku sambil tertawa jahil.
"kenapa lu Bal?" tanya ku heran.
"Nggak apa - apa" jawabnya tersenyum jahil. Karena sikapnya yang aneh, aku sedikit mulai curiga dengan kelakuannya tersebut. Baru saja aku ingin mencoba menjauh, tiba - tiba Iqbal langsung menyergap ku lalu mengikat kedua tangan ku menggunakan tangannya, ia menoleh ke arah teman - teman yang lain, terlihat seperti memberikan sebuah instruksi kepada mereka.
"Apa - apaan sih lu Bal, lepasin nggak!" ucapku sedikit keras sambil berusaha melepaskan diri.
Lalu beberapa teman - teman ku yang lain juga ikut menghampiri dan..
Ilham melumuri ku dengan serbuk kapur ke wajah ku, sentak aku langsung berontak. Namun sangat sulit untuk bisa lepas dari genggaman Iqbal, karena genggamannya yang sangat kuat dengan tubuhnya yang besar itu.
Belum sempat aku lepas dari genggaman Iqbal dan mencoba menyapu muka ku dari serbuk kapur.
Byurrr..
Terhempas air dari arah sebelah kanan ku, sontak Iqbal langsung melepaskan genggamannya lalu menjauh dengan cepat karena tidak ingin terkena cipratan air tersebut. Dan yang melemparinya tidak lain adalah Irfan, siswa yang cukup nakal di kelas.
Karena perlakuan yang menurut ku sudah tidak wajar ini, aku pun langsung marah, dan benar - benar berontak.
"Apa - apaan sih?" tanya ku emosi.
Bukannya menjawab, mereka malah tertawa terbahak - bahak, karena tidak mendapat jawaban, aku lantas bertanya langsung ke Iqbal yang bagiku dia lah yang bertanggung jawab atas semua ini.
"Bal, jawab.. maksud kalian ini apa? kenapa gua baru masuk udah di kerjain?"tanya ku memaksa.
Iqbal pun terdiam, tanpa ada bicara, wajahnya terlihat menahan ingin tertawa. Lalu Aan manghampiri ku, dan akhirnya...
Plaaakkk...
Tiba - tiba Aan menampar pipi ku, dan menyodorkan tangan nya kepadaku seraya tersenyum.
"Happy Birthday San" ujarnya sambil menjulurkan tangannya.
Lantas aku pun kaget, dan spontan langsung ikut tertawa, begitupun teman - teman ku yang mengerjai ku, seraya aku membalas jabatan tangan dari Aan.
"Oh.. jadi kalian ngerjain gua?" tanya ku.
"Kan ultah gua udah lewat, harusnya jangan dikerjain lah" sambungku dengan nada yang masih sedikit kesal.
"Justru karena waktu tanggal 9 kemarin kita libur, dan baru masuk hari ini, makanya kita ngerjain lu nya sekarang" jelas Aan sambil tersenyum.
"Hehe kapan lagi kan kita ngerjain ketua kelas" celetuk Ilham.
"Iyah San, jarang - jarang ketua kelas kita kerjain" sambung Elin seraya mendaratkan tamparannya ke piip kiri ku.
Plakkk..
"Eliinnn..." ucap ku sedikit greget.
Ia pun menjawabnya dengan tersenyum, "piss San hehe" ucapnya sambil tertawa dengan tangannya membentuk huruf V.
"Oke, gua tanya, ini ide siapa?" tanya ku heran sambil memandangi satu persatu wajah teman - teman ku dengan tatapan curiga.
Semua pun menunjuk ke arah Aan. Aan langsung tertawa kecil sambil menggarukkan kepalanya.
"Pisss... San" ucapnya tersenyum nakal dengan berlagak sok polos.
Teman - teman ku pun satu per satu menghampiri ku dan memberikan ucapan selamat, tak banyak pula yang ikut menampar pipi ku.
"Yaudah - yaudah, gua mau ke kamar mandi dulu, berantakan nih, mana pipi pada merah, sumpah parah banget" ucap ku sedikit jenuh dan kesal.
"Maaf San maaf.." ucap Aan sambil menunduk tanda menyesal.
Aku pun pergi ke kamar mandi untuk merapihkan dan membersihkan bajuku, untungnya kelas ku tidak jauh dai kamar mandi, jadinya tidak begitu malu saat melewati kelas yang lain.
"Gimana San?" Aan langsung menyambut ku yang baru saja dari kamar mandi.
"Gimana apanya?" tanya ku heran.
"Udah bersih belum?" lanjutnya sambil melihat seluruh pakaian ku.
"Udah kok, tenang aja. Untung aja lagi keadaan hujan, jadi jarang guru yang masuk ke kelas." ujarku seraya tersenyum kecil.
"Yaudah kalau gitu hehehe" ucapnya sambil tertawa lalu kembali ke tempat duduknya.
Kami sekelas meneruskan kegiatan kami, setelah akhirnya bel masuk berbunyi. Walau masih dengan tanpa belajar karena tidak ada guru yang masuk.
*******
Beberapa hari ini Randy tidak masuk kelas, aku mencoba menghubunginya tapi tidak ada sedikitpun balasan darinya. Teman - teman sekelas pun banyak yang bertanya kepadaku, tak terkecuali wali kelas ku, Pak Ahmad.
"Eh San, si Randy kemana sih? parah banget udah hampir 1 minggu nggak masuk"tanya Aan dengan wajah heran.
Belum sempat aku menjawab, Ilham tiba - tiba mendekat ke arah ku, yang memang sedang duduk di samping Aan, dan langsung ikut turun bicara. "Tau tuh anak, padahal anak baru di kelas ini, tapi udah cari masalah aja!" Timpal Ilham dengan nada kesal yang seakan menyudutkanku.
Sejenak aku tersenyum mendengar celotehan mereka, dan baru saja aku mau angkat bicara, Agus tidak mau kalah ikut menimpali.
"Lu kan temen deketnya, lu juga yang ngajakin dia masuk sini, harusnya lu tuh jangan biarin dia kayak gitu dong!"ucapnya dengan nada sangat kesal sambil menunjuk ke arah wajahku.
Dengan cepat aku langsung menjawab pertanyaan mereka, dan mencoba menjelaskannya sebelum mereka banyak menimpal lagi.
"Nih ya, gua juga nggak tau dia dimana, gua udah coba hubungin dia, tapi nggak pernah ada jawaban"ucap ku dengan nada perlahan, berharap mereka mengerti. Namun tak sesuai harapan, mereka malah semakin memojokkanku dengan pernyataan - pertanyaannya tersebut.
"Lah, kok lu nggak tau, gimana bisa lu nggak tau? Lu kan temennya, rumah lu juga deket sama rumah dia kan? masa iya lu nggak tau"Ucap ilham dengan nada tinggi dan sedikit menyolot.
Gubraakk!!
Agus yang sudah termakan emosi lalu menggebrakkan meja di hadapanku,lalu menarik kerah bajuku. Suasana di kelas yang awalnya ricuh dan teman - temanku yang sibuk dengan urusannya masing - masing, bahkan sampai - sampai tidak ada yang memperhatikan pembicaraan kami. Sejenak hening, dan semua mata di kelas pun menuju ke arah datangnya bunyi tersebut dengan tatapan mata heran. "Lu jangan gitu dong San!! Lu ketua kelas disini, jangan mentang - mentang dia temen lu, lu malah nutup - nutupin!!" Ucap Agus yang sudah termakan emosi.
Suasana di kelas kini menjadi semakin panas, bercampur keheningan, seperti tengah terjadi sebuah pertandingan didalamnya.
Aku hanya tersenyum melihat kelakuan teman - teman ku sebut dan mencoba untuk tenang dan tidak ikut terbawa emosi, karena jika sebuah masalah di hadapi dengan emosi, maka kita akan hilang akal sehat, apalagi kalau yang kita hadapi adalah seseorang dengan emosi tinggi, kita harus menghadapinya dengan senyuman.
"Udah?marah - marahnya?bisa kan kita omongin baik - baik?"ucap ku dengan nada santai dan tersenyum, seraya menurunkan tangannya dari kerahku.
Lantas, teman - teman ku heran dengan jawaban ku, yang malah tersenyum saat Agus hampir saja mengajak ku bertengkar.
"Gini yah, gua ngerti kok, gua temen deketnya, bahkan rumah gua juga deket sama dia, gua juga tau gua ketua kelas, tapi gua emang bener - bener udah coba hubungin dia, datang kerumahnya, tapi hasilnya nihil, tolong ngerti. Gua juga nggak akan ngebiarin dia, ataupun kalian yang melakukan pelanggaran kelas, karena itu emang tanggung jawab gua" Jelas ku, kali ini aku benar - benar meb=ncoba menjelaskan dengan detail, agar tidak terjadi selisih faham lagi.
Tiba - tiba Mustofa berdiri, dan angkat bicara. Ia yang selama ini selalu diam saat di kelas, ia yang selama ini terlihat acuh, sampai anak - anak berfikir dia lebih memilih prestasinya daripada yang lain.
"Udah - udah jangan pada ribut, Insan bener kok. Dia udah bertanggung jawab, dan dia juga udah coba ngejelasin sama wali kelas kita, tapi mau gimana lagi, Randy emang bener - bener gak ada kabar, dan nggak ada 1 pun yang tau dia dimana." Ujar Mustofa dengan bijak, semua pun tercengang dengan ucapannya tersebut.
Belum sempat ada yang berkata - kata, tiba - tiba ada yang masuk dari balik pintu kelas.
"Assalamua'laikum"ucap seseorang dari balik pintu.
"Wa'alaikum salam"ucap kami serentak tanpa kami tau siapa orang di balik pintu tersebut.
Dan ternyata orang tersebut adalah pak Ahmad, wali kelas kami.
"Tadi saya dengar ada ribut - ribut, ada apa gerangan?"tanyanya heran.
Karena aku tidak mau masalah ini menjadi masalah teman yang lain, aku langsung menghampiri Pak Ahmad, "Bisa saya jelaskan Pak di ruangan Bapak"ucap ku pelan seraya tersenyum, seakan mengerti maksudku, Beliau langsung tersenyum dan meninggalkan kelas,
Di dalam ruangan Pak Ahmad aku mencoba menjelaskan sedetail mungkin, agar beliau juga bisa mengerti.
"Coba jelaskan sama Bapak, sebenernya apa yang terjadi di kelas tadi?"tanya beliau dengan nada bicara santai namun tegas.
Aku tersenyum tipis,"Tentang Randy Pak."
"Ada apa lagi memangnya?"Tanyanya heran.
Aku pun mencoba menjelaskan. "Hmm... Jadi gini pak, seperti yang Bapak sudah ketahui, sudah hampir 1 minggu Randy tidak masuk sekolah, Bapak juga sudah sering bertanya soal ini kan?"
Belum selesai aku menjelaskan, Pak Ahmad langsung mengangguk tanda mengerti, "Hmm.. Bapak ngerti kok, emang nya mereka ngomong apa aja?"Tanyanya lagi.
"Ya gitu Pak, kenapa Randy nggak masuk - masuk, tapi mereka bertanya seakan memojokkan saya cuma karena saya ini teman dekatnya Randy, tadi sih sempet terjadi keributan, untung nggak lama, jadi guru - guru, dan kelas lain tidak sempat mendengarnya."jelasku.
Pak Ahmad lalu menangguk seraya membenarkan posisi duduknya.
"Bagus kalau gitu, Bapak percayakan semuanya sama kamu San, Bapak yakin kamu bisa menjadi pemimpin yang baik untuk kelas kita. Terus cari informasi tentang Randy ya San, Bapak juga udah coba cari tahu dari informasi di buku induk, tapi belum menemukkan data yang valid."
"Iyah Pak, Insya Allah saya akan mendapatkan informasi secepatnya."Ucap ku dengan nada meyakinkan
Baru saja aku mau meninggalkan ruangan Pak Ahmad, tiba- tiba aku teringat sesuatu hal yang mangganjal saat liburan kemarin "Oh iya Pak, saya baru ingat sesuatu, waktu liburan kemarin, saya, Randy, dan Niko sempat jalan - jalan, dan disitu saya menemukan kejanggalan, Randy yang selama ini saya kenal dengan pribadi yang ceria, tapi entah kenapa dia terlihat banyak termenung, seperti memiliki beban yang berat." tambah ku.
Pak Ahmad pun lantas terlihat berfikir sesuatu, dan hanya menganggukkan kepalanya. "Yaudah, coba dulu cari tau, kayaknya saya tau apa yang terjadi dengan Randy." ucapnya
"Yaudah saya kembali ke kelas dulu Pak, Assalamu'alaikum"Ucap ku seraya meninggalkan ruangan Pak Ahmad.
Aku langsung kembali ke kelas, namun saat di jalan aku bertemu dengan Niko, ia pun menanyakan hal yang sama denganku.
"Gimana?udah ketemu tuh orang?"Tanyanya dengan sikap acuh.
"Belum"jawabku singkat, namun tetap memasang wajah dangan senyuman.
"Nyusahin amat tuh anak, heran gua. Senengnya nyari masalah terus, udah sering telat kalau rapat - rapat, sekarang malah ngilang gitu aja, mau nya apa sih tuh orang."Ujar Niko dengan senyuman acuhnya.
"Tenang aja nanti gua cari kok, lagi lu kenapa sensi amat sih Nik, lu kan juga temennya?"Tanya ku heran.
"San, sekarang gini ya, dia Wakil ketua OSIS, masa iya kelakuannya kayak gitu, wajar aja dari awal gua nggak seneng dengan sifat begajulannya dia, buktinya dia malah gini kan?temen - temen lu, wali kelas lu, Pembina OSIS kita, anak - anak OSIS, semua nanyain dia. Kayak orang penting aja"
Aku pun menghiraukan ucapannya tersebut, dengan tetap tersenyum.
Tiba - tiba ponsel ku bergetar, aku pun mengeluarkan ponsel dari saku bajuku, dan terlihat nomor Randy memanggil.
Aku menunjukkan ponsel ku ke arah Niko seraya tersenyum, "Nih orangnya nelpon" lalu mengangkat penggilannya.
"Assalamu'alaikum San, lu dimana ? bisa tolongin gua? sekarang lu ke rumah sakit Sentra Keluarga ya, jangan kasih tau siapa - siapa, apalagi Niko"ucap Randy dengan nada tergesa - gesa.
Belum sempat aku menjawab, Randy langsung memutuskan panggilannya.
"Nih anak kenapa lagi" ucapku pelan sambil mengernyitkan kening.
"Gimana? udah tau tuh orang dimana?"Tanya nya masih dengan sikap acuhnya.
Aku membalasnya dengan senyuman, "tenang aja"jawab ku singkat.
Aku pun kembali ke ruangan Pak Ahmad untuk memberitahukan informasi ini sekaligus meminta izin untuk meninggalkan kelas, karena aku khawatir akan terjadi sesuatu kalau aku datang menunggu pulang sekolah, lagipula rumah sakit tersebut jaraknya tidak begitu jauh dari daerah sekolah ku, hanya sekitar 1 KM.
******
Randy
Ruangan ini terasa hampa, sesak, dan terkadang membuat aku ingin muntah karena bau nya yang sangat tidak ku suka. Di ruangan yang luasnya tak lebih luas daripada sebuah kamar kontrakan, aku duduk termangu menatap orang yang sangat aku cintai terbaring lemah. Sudah hampir 6 bulan, ya.. kurang lebih seperti itu, aku menunggunya untuk membuka mata kembali, dan bisa menemani aku lagi, bisa tertawa bersama lagi. Setiap hari hanya bunyi alat - alat kedokteran dan elektrokardiograf yang selalu terdengar di telinga ku, hanya bau rumah sakit yang selalu aku hirup, ya aku hanya bisa menghirup udara segar saat sekolah, dan sesekali keluar ruangan karena tidak kuat menahan baunya. Aku memang tidak begitu suka, bahkan bisa di katakan phobia terhadap rumah sakit, namun semua berubah saat Ibu, orang yang begitu berarti di hidup ku terkena penyakit gagal ginjal, dan mengalami koma sudah hampir 3 bulan. Selama 3 bulan itu pula, ibu sudah berkali - kali melakukan cuci darah, entah sudah berapa kali, andai ibu dapat bicara, ibu pasti akan mengeluh capek karena selalu cuci darah.
Aku berjuang sendiri, berdoa, dan selalu berharap, Allah akan mengangkat penyakit yang di derita oleh Ibu ku, ya.. berharap, hanya berharap. Karena menurut dokter, kemungkinan Ibu untuk sembuh hanya 2%, sangat kecil. Tapi aku selalu percaya keajaiban itu pasti ada, Allah pasti akan mendengar doa hambanya yang selalu berjuang dan tak henti memanjatkan doa kepada Nya.
Tak ada yang tau soal penderitaan Ibu, atau bisa di katakan penderitaan ku sendiri. Bahkan, kedua sahabat ku sendiri pun tidak ada yang tau tentang ini, aku selalu berusaha menutupi, hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk menguatkan diri ku sendiri.
Kata Dr. Hendra, hari ini ibu akan di lakukan operasi, karena ibu sudah mendapatkan donor ginjal untuk di lakukan transpalantasi ginjal. Jujur, aku sangat takut, dan khawatir akan terjadi sesuatu pada Ibu, maka dari itu aku menghubungi sahabatku, ya meskipun hanya Insan, karena hanya dia yang dapat aku percaya, karena bagi ku, Insan adalah sosok yang baik, bijak, selalu bisa menengahi saat aku dan Niko bertengkar, dan bisa berfikir dewasa. Karena itu lah aku lebih Respect terhadap Insan dibanding Niko.
Seketika lamunan ku buyar, saat ada suara ketukan pintu yang tak lain adalah Dr. Hendra bersama Suster Nindy untuk memeriksa keaadaan Ibu, untuk di lakukan operasi selanjutnya.
" Gimana dok, keadaan ibu saya? dan apakah ginjal yang akan di donorkan cocok?" tanya ku sesaat setelah Dr. Hendra memeriksa keadaan Ibu.
" Hemm.. Ibu kamu sudah bisa di lakukan operasi, dan operasinya akan di lakukan malam nanti, ya untungnya ginjal yang akan di transpalantasikan ke ibu mu itu cocok, setelah beberapa kali selalu gagal mencari yang cocok. Jadi, sekarang kamu harus persiapin ya... " ujar Dr. Hendra sambil menepuk pundak ku dan menatapku dengan tatapan haru, namun seakan memberikan aku isyarat agar aku kuat menghadapinya.
" Apa nya yang harus di persiapin Dok? " tanya ku heran namun dengan mata yang berlinang.
"Apapun hasilnya nanti kamu harus kuat, saya percaya kamu pasti mampu..." ucapannya seakan memberikan aku sebuah kekuatan.
Sejenak aku menundukkan kepala, lalu bersandar di pojokkan ruang kamar, duduk dan menekuk badan ku dan menutup wajahku sambil memeluk lutut. Saat ini yang ku rasakan adalah sakit, takut, khawatir, semua menjadi satu. Aku takut jika operasi ini gagal, aku takut jika aku harus kehilangan ibu, aku takut..
Tak sadar air mata ku jatuh, sedikit demi sedikit, dan akhirnya aku pun menangis histeris. Dr. Hendra yang tidak tega melihat keadaan ku lalu mengahampiri ku, dan duduk di sebelahku sambil merangkul bahu ku.
"Saya tau apa yang saat ini sedang kamu rasakan, ya.. walaupun saya tidak bisa merasakannya, namun saya tau, betapa takutnya kehilangan orang yang sangat kita cintai, tapi mau gimana pun juga kamu harus kuat, kamu harus tetap bisa berdiri, sesulit apapun masalahnya, seberat apapun itu, seburuk apapun kenyataannya, kamu harus bisa menghadapinya. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus terus berdoa, saya yakin ibu kamu juga berharap hal yang sama dengan kamu, bisa sama - sama lagi, bisa bercanda lagi. Kami disini akan terus berusaha, semampu kami, apapun resikonya." ucapan Dr. Hendra sedikit menenangkanku, ya walaupun tidak bisa menghentikan air mata ku yang turun, tidak bisa menghilangkan rasa takut ku, tapi setidaknya aku bisa sedikit lebih tenang. Karena aku masih terus menangis dan tak memberikan tanggapan, Dr. Hendra pun lantas pergi, karena ia tau aku memang butuh sendiri, ia pun pergi bersama dengan suster Nindy sambil berbisik pelan dan menepuk pundakku "kamu pasti kuat".
Ya allah, kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa? aku sangat mencintai Ibu, aku tidak mau kehilangan Ibu, aku mohon jangan kau panggil Ibu terlalu cepat, berikan aku sedikit waktu untuk bisa membahagiakannya, untuk bisa melihatnya tersenyum, untuk bisa melihatnya bangga karena memiliki anak seperti ku, karena selama ini aku masih banyak berbuat dosa padanya, banyak membuatnya menangis. Aku mohon angkatlah penyakitnya, lancarkanlah operasinya, sembuhkanlah ia, bukakanlah kedua matanya, izinkan aku untuk bisa bercanda lagi, bersama - sama lagi. Aku sangat mencintainya...
Insan
Setelah berpamitan dengan Pak Ahmad, dan teman - teman kelas, aku lalu berangkat ke Rumah Sakit untuk mendatangi Randy yang tadi menelpon, walau tidak begitu jelas apa yang dimaksud Randy sampai - sampai aku harus secepatnya datang.
Di jalankan menuju Rumah Sakit fikiran ku tidak beraturan, karena khawatir apa yang sedang terjadi dengan Randy. Kenapa Randy terkesan terburu -buru ? Kenapa Randy terkesan sedang dalam masalah besar ? Kenapa ... ? fikiran ku benar - benar kacau. Tiba - tiba aku teringat sesuatu hal yang mengganjal fikiranku saat pergi ke Taman Mini beberapa hari yang lalu, Randy yang biasanya ceria kenapa ia terlihat murung? kenapa ia terlihat lebih banyak termenung? kenapa ia terlihat sedang memikul maslah yang begitu besar? Mungkinkah ada hubungannya dengan ini? Kenapa sebenarnya dengan Randy..
Aku pun sampai di depan Rumah sakit dan segera turun dari angkot, tiba - tiba hujan turun sedikit demi sedikit, karena tidak mau sampai basah, aku langsung berlari ke dalam Rumah Sakit. Karena Randy tidak memberikan ku informasi lebih, aku langsung menghampiri pusat informasi dan mencoba menanyakan pasien dengan nama Randy Saputra.
"Siang mas ada yang bisa dibantu"sambut costumer service tersebut.
"Maaf mba, apa ada pasien dengan nama Randy Saputra?"tanyaku sambil terengah - engah.
"Sebentar ya mas, saya cari dulu"jawabnya sembari mencari data di komputernya.
Setelah beberapa saat kemudian, suster tersebut akhirnya mengkonfirmasikannya. "Maaf mas, untuk nama Randy Saputra tidak ada disini"
Nggak ada ? kenapa bisa nggak ada? terus maksud Randy tadi nelpon? cuma ngerjain aja kah? atau apa ? Sebenernya apa yang sedang terjadi dengan Randy? Argghhh... Fikirku kesal sambil mengacak - acak rambutku.
"Oh yaudah Mba, makasih ya.."aku pun berniat pergi dengan keadaan kecewa karena merasa di kerjai oleh Randy.
Belum sempat aku meninggalkan Rumah Sakit, tiba - tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. "Kamu temannya Randy ya?"ucap seseorang tersebut. Aku langsung menoleh ke belakang, "Ehmmm iya, kok Dokter tau?" ucapku heran.
"Sini ikut saya..." tanpa basa - basi Dokter yang terlihat masih muda, berbadan tinggi, dengan pakaian dokter pada umumnya, dan tertera nama di dadanya DR. Hendra Lesmana, lalu menarikku entah kemana. Seakan terhipnotis, aku pun mengikuti langkahnya pergi.
Kami menaiki lift menuju lantai 9, dan terus membawa ku melewati kamar - kamar rumah sakit. Sepanjang jalan, banyak orang - orang yang sedang menjenguk rekan ataupun keluarganya di kamar pasien, dan tak jarang juga yang terlihat tidur di depan kamar karena kelelahan. Kami pun sampai di depan kamar no. 73, Dr. Hendra pun menyuruhku masuk, aku yang tidak mengerti apa - apa langsung menurutinya, dan mencoba membuka kamar tersebut. Dr. Hendra lalu meninggalkan ku sambil berkata "Buat temanmu itu semangat, saya yakin kamu pasti bisa"ucapnya langsung pergi meninggalkanku. Apa maksudnya Dr. Hendra? ada apa sebenarnya dengan Randy, tanpa fikir panjang aku pun langsung masuk kekamar tersebut.
Mata ku terbelalak, melihat sebuah pemandangan penuh kalbu didepan mata, seseorang yang selama ini belum pernah aku temui, namun sering aku lihat fotonya di dinding - dinding rumah Randy, dan Randy pun sering menceritakannya.
Aku melihat sesosok wanita berumur 40 an, sedang terbaring lemah yang wajahnya ditutupi alat Nasal Kanul, dan lengannya terpasang selang infus. Jadi ini Ibu Randy? yang selama ini Randy ceritakan? Yang selama ini Randy bilang sedang bekerja di luar kota, yang selama ini tidak pernah aku temui sekalipun. Kenapa Randy menutupi hal sebesar ini? kenapa Randy tidak pernah bercerita tentang hal ini? apa maksudnya ini semua?
Badan ku terasa lemas melihat pemandangan tersebut, sakit, sedih, haru, semua menyelimuti hati ini, yang membuat dengkul ku seakan tak kuasa menahan beban tubuhku. Aku pun melihat kesekitar, ruangan kecil yang berisi alat - alat kedokteran, bau khas rumah sakit yang ikut terhirup ke dalam rongga pernafasan ku, perhentianku pun berhenti ke pojok ruangan, terlihat seseorang sedang duduk sambil memeluk lutut. Aku pun menghampiri orang tersebut, yang tak lain adalah Randy. Tanpa berbicara sedikitpun, aku langsung duduk di sebelah Randy, aku yakin Randy menyadari kehadiran ku, tapi aku lebih memilih diam, seraya duduk di sebelahnya, sampai ia benar - benar tenang dan mau berbicara denganku.
Setelah hampir 1 jam aku duduk disebelah Randy, tanpa suara, tanpa ucapan, akhirnya Randy membangunkan tubuhnya sambil mengusap air mata yang tersisa di matanya. Aku pun tersenyum, karena aku yakin ia sudah sedikit lebih tenang, walau harus menunggu lama, tapi hasilnya tidak mengecewakan, karena aku tau, di saat kita terjatuh, kita butuh ketenangan terlebih dahulu, sampai akhirnya kita bisa menceritakannya pada orang lain.
Randy akhirnya bangun, lalu ia memasang wajah yang seakan mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Aku pun ikut bangun, dan mengikuti kemana Randy akan pergi. Dan ternyata Randy mengajak ku ke balkon rumah sakit, kami duduk di depan balkon sambil memandangi hujan yang sedang turun. Randy masih belum mau berbicara, kami hanya duduk terdiam sambil melihat rintikan - rintikan hujan yang turun.
Setelah beberapa saat, akhirnya Randy pun angkat bicara.
"Lu liat kan hujan ini? Kadang kita merasa hujan itu menyejukkan buat diri kita sendiri, tapi kadang pula hujan bisa membuat ketakutan, cemas, sedih."ucapnya sambil menunjuk ke arah hujan, dengan tatapan masih menghadap datangnya hujan. "Dan ini lah jawaban gua atas pertanyaan Niko saat itu, ini lah yang ngebuat gua suka sama hujan, walaupun gua selalu merasa sedih setiap kali mendengar kata hujan, tapi gua mencoba untuk pendam itu di dalam hati gua" lanjutnya, menjelaskan alasannya yang selama ini ia tutupi, alasan mengapa ia mencintai hujan.
"Terkadang kita nggak bisa melihat apa yang bisa di lihat oleh mata, hujan misalnya, kita bisa melihat rintikan hujan tersebut, tapi apa kita bisa melihat isi dari hujan? air itu benda yang transparan, kita nggak akan bisa melihatnya dengan mata. Begitupun juga dengan apa yang sedang kita rasain di dalam hati."sambungnya sambil tersenyum penuh kesedihan.
"Selama ini yang lu liat, Niko liat, bahkan teman - teman yang lain liat, gua ini seseorang yang humoris, gampang ketawa, bandel, sering telat, iya kan?"ucapnya sambil menoleh ke arahku, aku pun hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban.
"Kalian nggak pernah tau, batapa hancurnya perasaan gua, betapa perihnya hati gua, selama hampir 6 bulan gua rasain kehancuran itu, gua rasain semua itu sendiri, gua tutupin semua dari kalian, walaupun gua harus di bilang bandel, walaupun gua harus banyak teguran dari guru, dan yang lain, walaupun banyak yang berfikiran negatif ke gua, tak terkecuali Niko, sahabat gua, sabahat kita sendiri. Tapi semua itu gua acuhin, karena bagi gua nggak penting, karena ada yang lebih penting dari celotehan nggak bermutu dari kalian, yaitu nyokap gua, orang yang gua cinta, orang yang sangat berarti buat hidup gua." kali ini Randy terlihat sedikit emosi, mungkin karena terlalu lama ia memendam semua ini sendirian, aku pun menepuk pundaknya, dan mencoba menenangkannya.
"Gimana?udah lega?keluarin semua unek - unek lu, meskipun lu harus jadi emosi, walaupun gua harus sampai lu pukul, nggak apa - apa Ran, biar lu puas."ucap ku sambil menyodorkan tangannya ke wajahku. Randy malah terdiam, dan tetap memandangi hujan.
"Ran, dari awal gua udah tau, kalau yang selama ini gua liat itu bukan lu yang sebenarnya. Oke orang - orang bisa melihat senyuman lu, ketawa lu, tapi gua bisa lihat kalau semua itu cuma senyuman palsu, sangat terlihat di mata gua. Gua bisa melihat apa yang nggak bisa di lihat oleh orang lain, karena gua bukan melihat cuma dengan dua mata ini"ucap ku menggebu - gebu sambil menunjuk ke arah kedua mataku. "Tapi dengan ini..mata hati.."lanjutku dengan telunjuk mengarah ke dada.
"Ran... apa yang lu rasain, pernah juga gua rasain, bahkan gua rasa, gua lebih sakit di bandingkan lu. Lu tau Ran? gua juga udah nggak punya nyokap, mamah gua meninggal saat gua masih SD, ya mungkin itu biasa, tapi gua dari gua kecil, gua nggak pernah tinggal bareng sama nyokap gua, termasuk bokap gua. Saat gua kecil, mereka berdua cerai, sampai akhirnya gua di titipin sama Nenek gua, bokap gua pergi, nyokap gua nikah lagi, gua nggak tau dan nggak pernah tau rasanya punya keluarga, gua nggak pernah tinggal bareng mereka, dan itu sakit Ran."ucapku yang sedikit terbawa emosi, namun langsung meneteskan air mata.
"CUMA ITU? HAH?!!"CUMA ITU?!!"Randy kali ini benar - benar terbawa emosi, namun aku tetap membiarkannya melepas semua emosinya, sampai dia merasa benar - benar puas, karena itu yang ia butuhkan, agar ia bisa tenang kembali.
"Apa selama lu main ke rumah gua, lu pernah lihat bokap gua? pernah? lu tau dia kemana? tau nggak?" Randy seketika benar - benar sangat marah saat berbicara tentang Bapaknya, entah apa yang sebenarnya dirasakannya, sampai Randy harus semarah ini, tapi aku tetap mencoba menenangkan diri, agar tidak ikut terbawa oleh panasnya suasana.
"Bokap gua ini nikah lagi, di saat nyokap gua jatuh sakit, dia ninggalin nyokap gua gitu aja, ninggalin gua, ninggalin kami, lu tau betapa bencinya gua sama bokap gua sendiri?" lanjutnya sambil menatap wajahku dengan tatapan yang sangat penuh emosi, tatpan penuh kebencian, tatapan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya dari seorang Randy.
"Lu tau nggak rasanya? gua harus berjuang sendirian berusaha untuk kesembuhan nyokap gua, gua berjuang sendirian biayain nyokap gua sakit? lu tau gua selama ini kemana?kenapa gua selalu telat?kenapa gua selalu buru - buru kalau pulang sekolah?kanapa gua jarang kiut rapat?bahkan gua harus nggak sekolah? gua kerja San, buat hidupin diri gua sendiri, dan biayain nyokap gua."
Seperti tertusuk jarum, bukan, tapi seperti tertusuk pedang tajam, sakit, terasa sesak di dada. Ternyata, Randy yang selama ini aku lihat penuh tawa, Randy yang selama ini penuh canda, ia memikul beban yang sangat berat di hidupnya, ia harus memangku beban keluarganya sendirian, bekerja untuk keluarga, dan dirinya sendiri. Tapi dia bisa menutupi semuanya dengan senyuman palsunya, sungguh aku benar - benar tidak menyangka, Randy bisa sekuat ini, Randy bisa sehebat ini. Aku langsung tertunduk malu, aku malu karena sempat mengatakan penderitaannya tidak lebih besar di banding penderitaan ku, aku menyesal berkata demikian, karena yang ku lihat, Randy lah yang lebih merasakan pedihnya kehidupan di banding aku, aku masih lebih beruntung, bisa hidup dengan nenek ku, tante - tente ku.
"Maaf Ran, kalau gua salah mengerti, gua malah bilang gua yang lebih sakit, gua yang lebih hancur, gua nyesel ngomong gitu" aku pun langsung meminta maaf dengan penuh sesal di dalam hati.
"San, hidup memang seperti itu, kadang kita selalu merasa kita lah yang lebih segalanya, tanpa kita melihat sekeliling kita, tanpa kita menengok ke atas, tanpa kita menengok ke bawah. Kita selalu lupa, kalau masih ada yang lebih hebat daripada kita, kita selalu lupa kalau masih ada yang lebih tidak beruntung dibanding kita, gua juga sadar, penderitaan gua, sakitnya gua ini belum seberapa, pasti masih ada yng lebih parah daripada gua."
"Iya Ran, gua ngerti, yaudah sekarang coba lu ceritain ke gua, ada apa sebenernya dengan nyokap lu?"tanya ku seraya mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu panas lagi.
Pertanyaan ku tak di gubris sama sekali oleh Randy, mungkin karena ia masih merasa panas dan kesal, aku pun mengulangi pertanyaan yang memang sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.
"Nyokap lu emang sebenernya kenapa Ran?"tanya ku mengulang, berharap kali ini Randy akan menjawab pertanyaan ku.
Randy masih terdiam, dia malah menunduk, lalu tak lama kemudian air matanya pun menetes, sedikit demi sedikit, dan akhirnya semakin deras. Aku yang tak tega, dan merasa bersalah atas pertanyaanku barusan mencoba menenangkan Randy.
"Gua salah nanya ya Ran? Maaf ya... Bukan maksud gua buat lu makin terjatuh. Oke, gua nggak tau apa yang lagi lu rasain sekarang, yang gua tau pasti rasanya itu sakit, perasaan lu hancur banget, entah apapun itu. Tapi lu harus selalu ingat, lu nggak sendirian Ran, ada gua, Niko, bahkan ada Allah yang selalu di samping lu. Lu harus kuat, bagaimanapun juga lu adalah laki - laki. Dan lu ini kuat, lu bisa berthan sejauh ini pun, gua sangat salut, lu hebat. Perjuangan lu jangan sampai sia - sia, tinggal selangkah lagi, lu akan menerima hasil dari perjuangan lu selama ini, walaupun hasilnya belum tentu baik, tapi itulah hidup." Entah Randy mendengarkan ucapan ku kali ini atau tidak, yang jelas yang ku lihat Randy sudah sedikit lebih tenang, dan ku harap dia akan angkat bicara. Aku pun membiarkannya menenangkan dirinya sendiri seraya memandangi setiap rintikan hujan yang turun.
Selama hampir 30 menit di dalam keheningan, akhirnya randy mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya, lalu dia pun ankhirnya angkat bicara.
"Nyokap gua gagal ginjal San"ucapnya dengan suara pelan karena suaranya yang hampir habis setelah menangis cukup lama.
"Beliau memang udah lama sakit ginjal, dan akhirnya mencapai puncaknya pas setelah gua masuk SMK. Saat itu, hari pertama MOPD, gua pulang buru - buru karena nggak tau kenapa hati gua pengen banget meluk nyokap gua. Tapi sesampainya di rumah,,,"penjelasannya sejenak terputus, seakan berat untuk melanjutkannya.
Sambil menelan ludah, dan menghirup nafas panjang Randy melanjutkan penjelasannya "Sesampainya di rumah, gua liat nyokap gua udah terbaring nggak berdaya, dan saat itu rumah gua sedang nggak ada orang, gua juga nggak nemuin bokap gua, tapi ada sesuatu yang membuat gua bertanya sampai saat ini, saat itu gua lihat seluruh rumah gua berantakan, barang - barang banyak yang pecah, seperti habis terjadi keributan besar" wajahnya mendadak berubah menjadi serius dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Saat itu gua bener - bener panik, gua nggak tau harus apa, gua cari bokap gua nggak ada, akhirnya gua telpon ambulan. Dan akhirnya nyokap gua di rawat di rumah sakit ini. Awal - awal gua masih tenang, karena gua masih punya duit simpenan buat biayain nyokap gua, tapi akhirnya duit gua habis, gua nyoba pergi ke rumah saudara - saudara gua buat nyari bokap, tapi nggak ada ynag tau dimana bokap gua pergi. Saat itu gua bener - bener stres banget, gua hampir gila, karena gua udah nggak tau lagi harus gimana. Sampai akhirnya, gua ketemu Dr. Hendra, yang kebetulan dia adalah dokter yang baru aja di pindah tugasin di rumah sakit ini, Dr. Hendra bener - bener baik banget sama gua, dia juga yang nyuruh gua untuk kerja, gua di ajak kerja oleh temennya beliau, ya walaupun cuma jaga toko milik temennya, tapi gua di gaji lumayan besar, dari hasil kerja itu lah gua bayar biaya rumah sakit, bayar biaya cuci darah, dan akhirnya untuk hari ini, biaya operasi trasnplantasi ginjal." jelas Randy, kali ini dia sudah benar - benar bisa sedikit lebih tenang dari sebelumnya, dia bisa menjelaskan dengan rinci kejadian demi kejadian tanpa harus merasa emosi lagi, sedih lagi, ya kali ini tatapannya sudah datar.
"Sampai pada waktu ketika gua lagi pergi buat kerja, gua nggak sengaja ngelihat bokap gua lagi jalan sama cewek lain.."sambungnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Gua samperin bokap gua, dan gua langsung tanya kemana aja dia selama ini, kanapa dia nggak peduli sama nyokap gua, kenapa dia hilang, tapi lu tau apa yang gua dapat?"tanyanya sambil menengok ke arah ku. Aku pun hanya menggelengkan kepala sebagai tanggapan atas ketidak tahuan ku.
"Gua malah di gampar sama bokap gua, dan dia bilang dia udah nggak peduli lagi sama nyokap gua, dan dia juga bilang kalau cewek yang lagi sama dia adalah istri barunya, padahal status nya sama nyokap gua masih suami - isteri. Sejak saat itu gua bener - bener benci sama bokap gua, dan berjanji buat balas semua yang dia udah lakuin ke nyokap gua" ucapnya penuh emosi sambil memukul lantai dengan sangat kuat.
Sangat terlihat kebencian di wajah Randy, apalagi pada tatapannya tersebut, tatapan yang menyimpan kebencian yang sangat besar, kebencian seorang anak terhadap orang tua nya sendiri....
Aku lantas tertegun mendengar penjelasan Randy tersebut, aku benar - benar tidak menyangka apa yang di alami Randy seberat ini, bahkan aku pun belum tentu bisa menghadapinya.
"Ran... gua tau, apa yang lu hadapin ini benar - benar berat banget, kadang hidup memang nggak selamanya lurus ke depan, kadang kita terjatuh cuma karena kerikil, kadang kita jatuh karena lubang, tapi itu lah hidup. Hidup ini kayak sekolah Ran, ada ujiannya, nanti juga ada hasilnya, dan hasil yang kita dapat sesuai dengan apa yang kita kerjakan untuk ujian tersebut. Kita ini hebat loh, dengan tangan kita sendiri, kita bisa merubah semuanya, kita bisa ngehancurin masalah - masalah yang ada, cukup dengan kedua tangan kita. Dulu, nyokap gua pernah bilang sama gua jadilah manusia yang bisa merubah hitam menjadi putih, basah menjadi kering, karna tak ada yang tak mungkin di dunia ini, belajarlah dari hujan, walau membuat resah dengan derasnya, namun bisa membuat panas menjadi dingin, dan membuat keindahan yang amat indah setelahnya. Sejak saat itu gua yakin, setelah masalah yang datang, pasti akan ada pelangi setelahnya. Sekarang, apapun hasilnya nanti, baik ataupun buruk, lu harus bisa terima dengan lapang dada, meskipun harus keburukan yang lu terima, gua yakin Allah punya sesuatu yang lebih baik nanti nya di kehidupan lu, yang penting lu udah berdoa dan berusaha."
"Dan satu hal yang harus lu ingat, semua yang akan terjadi, itulah hal terbaik dalam hidup kita, meskipun perih. Jadi kita harus siap menerima apapun hasilnya"
Randy langsung termenung sambil menatap hujan, lalu ia pun berdiri."Makasih San, gua yakin gua pasti bisa ngelewatin ini semua"
Aku pun tersenyum sambil masih duduk di tepian balkon rumah sakit.
Kami akhirnya kembali ke kamar rumah sakit, karena sebentar lagi akan di lakukan operasi.
Saat sedang menunggu Dr. Hendra memeriksa keadaan Ibu nya Randy, tiba - tiba ada seseorang yang datang dengan langsung membuka pintu kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seseorang itu adalah seorang pria yang bertubuh tegap, tinggi, berkulit cokelat, memiliki kumis tebal, ia pun datang dengan didampingi oleh seorang wanita di sebelahnya. Randy yang akhirnya menyadari kedatangan lelaki tersebut lalu menghampirinya, dan menariknya keluar. Aku yang penasaran pun ikut keluar untuk memastikan siapa lelaki tersebut.
"Ngapain anda datang kesini hah!!?"tanya Randy dengan nada tinggi.
"Kenapa kamu nyolotin seperti itu berbicaranya?kedatangan saya kesini untuk hal baik"jawab lelaki tersebut.
Randy pun hanya tersenyum acuh, dan tatapannya berubah menjadi tatapan kebencian, tatapan yang belum lama di tampakan saat berbicara dengan ku tadi, jangan - jangan..... lelaki itu..
"Saya kesini untuk melihat keadaan ibu kamu, apa itu salah?"jawab lelaki tersebut
Benar saja, lelaki tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Bapak Randy, orang yang sangat di benci Randy di dunia ini.
"Untuk apa?hah?emangnya penting?!!jawab Randy semakin emosi.
"Kamu kok nggak sopan bicara sama Bapak mu sendiri?!!!" Bapak Randy pun ikut memanas.
"Sopan? sama orang yang udah ninggalin isterinya sendiri saat dia lagi sakit? sama orang yang udah ngebiarin anaknya berjuang sendirian buat kehidupannya dan kehidupan ibunya sendiri? sama orang yang malah asik dengan wanita lain, padahal isterinya udah di ambang kematian?"ujar Randy yang sudah termakan emosi.
Plaakkkkk!!!
Tamparan keras baru saja mendarat di wajah Randy
"Sopan banget ya kamu, bicara sama Bapakmu sendiri"ucapnya selepas mendaratkan tamaparan ke wajah Randy.
Randy yang tak terima atas perlakuan Bapaknya tersebut, ia pun membalas dengan memberikan sebuah tinjuan ke wajah Bapaknya tersebut.
BUUUkkkK..!!!
Aku sontak kaget, Karena aku baru saja melihat pemandangan yang penuh ironi, seorang anak memukul orang tua nya sendiri karena terlalu membencinya.
Di hadapan ku kini, seakan tengah terjadi pertarungan maha dahsyat, bahkan wanita itu pun lantas menjauh agar tak terkena dampaknya.
Terjadi adu pukul antara Randy dengan Bapaknya tersebut, sampai akhirnya Dr. Hendra pun datang untuk memisahkan dan memanggil keamanan. Wajah keduanya penuh lebam, yang paling parah adalah Randy, sampai bercucuran darah. Randy pun meminta Dr. Hendra untuk mengusir Bapaknya tersebut, akhirnya Bapaknya pun pergi beserta wanita yang di bawanya, ia berjalan tertatih sambil di papah oleh wanita tersebut.
Kini aku pun mengerti, betapa bencinya Randy dengan Bapaknya sendiri..
*************
Randy
Operasi pun akhirnya berlangsung, aku dan Insan menunggu di depan ruangan operasi. Aku menunggu dengan hati yang cemas, takut, serta masih di selimuti rasa amarah karena masalah tadi, semua bercampur menjadi satu, seakan membuat ku ingin pingsan. Aku menunggu sambil mengobati luka lebam akibat bertengkar dengan Bapak tadi, cukup sakit luka yang aku rasakan akibat pukulannya, tapi tak lebih sakit dari apa yang sudah dia perbuat kepada kami, khususnya Ibu. Luka ini lebih sakit, bahkan mungkin tidak akan pernah hilang, apalagi kalau sampai Ibu meninggalkanku, aku bersumpah tidak akan pernah sudi untuk melihat wajah Bapak lagi, mengenalnya pun tak mau.
Perasaan takut ini semakin lama semakin bertambah, detik demi detik terlewati, menit demi menit berjalan, ketakutan ini semakin menjadi besar. Insan yang mungkin mengerti bagaimana keadaan ku saat di posisi seperti ini terkadang mencoba menenangkan ku, walaupun aku masih tetap saja merasa takut, saat ini adalah saat yang sangat aku takutkan di sepanjang hidup ku. Aku takut kalau operasi ini gagal, aku takut kalau arggghhh..
Aku dan insan pun pergi ke mushala untuk melaksanakan shalat isya, setelah shalat selesai, aku tetap duduk bersila menghadap kiblat, aku mencoba berdoa kepada Allah, aku berharap masih ada keajaiban untuk Ibu, agar Ibu bisa kembali sehat, ya.. berharap.
Ya Allah, jangan lah kau cabut nyawa Ibu ku, angkat lah penyakitnya, sembuhkanlah ia, aku tak sanggup bila aku harus kehilangan ibu
***
Beberapa jam kemudian setelah operasi selesai, Dr. Hendra keluar dengan wajah yang sama sekali tidak bisa ku tebak, dalam hidupku aku tak pernah merasa segugup ini, keringat mulai terlihat didahiku, kaki dan tanganku bergetar tak karuan, aku melihat aura panik diwajah Dokter yang biasanya ku lihat selalu penuh senyuman. aku hanya diam menatap mata dokter itu penuh harapan, berharap ada secercak harapan, walauun sedikit. Insan yang berdiri disebelahku juga hanya diam menunggu keterangan Dr. Hendra.
Dia menepuk pundakku, dan menggelengkan kepalanya, dadaku berdebar keras, "Kami sudah berusaha semampu kami Randy, maaf kamu harus menerima kenyataan Ibu kamu tidak dapat kami selamatkan" ujarnya penuh sesal.
Bagai disambar petir disiang hari, aku merasa gemuruh besar melanda diriku, aku menggumpalkan tanganku, dan mengarahkan tangan kiriku didadaku sambil menjatuhkan tubuhku dengan bertumpu pada lutut. Ya Allah... seperti inikah rasanya ditinggal oleh orang yang paling aku cintai? seperih ini kah? andai aku bisa mengubah semuanya, andai aku masih diberikan waktu sekali saja untuk membahagiakannya... Ibu... Randy gak sanggup bu, kenapa harus secepat ini? Maafin Randy ibu... ya Allah, Sakiitt!!!
Air mata perlahan mulai membasahi pipiku, tubuhku goyah, ingin rasanya aku ikut dengan ibu, agar beban hidup ini tak kurasakan lagi, sekarang semua berubah, ya.. aku berjuang sendiri, tanpa orang yang aku sayang lagi, tanpa ibu lagi. Aku merasa sanagat lemah, penyemangat hidupku sudah pergi, lalu hidup ini apa gunanya lagi? Insan dan Dokter Hendra mencoba menenangkanku, tapi tak ada satu dari mereka yang mampu mengubah suasana hatiku, aku hanya mencoba tersenyum disela tangisku, ini masih terlalu sakit ya Allah. Apakah ini mimpi? saat ini aku berharap ini hanyalah mimpi buruk, ya hanya sebuah mimpi buruk.
Aku lalu bangkit perlahan dengan tubuh yang masih sangat lemas, dengan badan penuh gemetar, aku pun perlahan masuk ke ruang dimana terdapat mayat ibuku, seluruh tubuh dan wajahnya tertutup kain putih, ya.. Itu ibuku, pelengkap hidupku, wanita terkuat dan tercantik yang ku punya, sekarang turkujur lemah tak berdaya. Bu.. bangun bu.. ini Randy anak ibu, jangan tinggalin Randy sendiri didunia bu, Randy gak bisa hidup tanpa ibu. Ucapku lirih saat melihat ibu sudah terbaring tak berdaya.
Saat kusadar semua ini nyata, semua ini bukan mimpi seperti yang kuharapkan, aku mendekati ibuku yang tertutup kain putih itu disusul Insan dibelakangku, perlahan aku membuka kain itu dan mendapati wajah pucat ibuku, sekuat mungkin aku menahan tangisku agar tak jatuh, aku cium kening ibu, dan seketika air mataku mengalir deras, perjuangan hidup, kebencian, amarah, tangis, sesal, rindu, semua menjadi satu saat ini, ingin rasanya kubunuh juga dia, orang yang mengaku bapakku, orang yang dengan gampangnya menyakiti dan meninggalkan wanita dihadapanku ini, tapi sekarang semua sia-sia, saat ini aku hanya ingin untuk terakhir kalinya berada bersama ibu, orang terpenting dalam hidupku yang kini telah pergi.
"Ibu, ini semua terlalu sulit untuk Randy bu, apa yang akan terjadi dalam hidup Randy tanpa ibu?" Aku berbicara disela tangisku yang semakin menjadi. "Ibu penyemangat hidup Randy, ibu adalah salah satu alasan Randy untuk tetap bertahan atas semua ini, kenapa secepat ini bu? kenapa ibu gak bertahan juga demi Randy? Bu, mungkin ini memang terbaik untuk ibu, biar ibu tidak merasakan sakit lagi, gak merasakan tersiksa lagi, Randy janji Randy coba untuk menerima ini semua dan mengikhlaskan kepergian ibu. Ibu yang tenang disana ya Bu, MAaf, terlalu banyak salah yang Randy lakuin selama ini, terlalu banyak kepahitan yang ibu terima, maaf belum bisa bahagiain ibu, sampai disini kemampuan Randy bu... Maafin Randy bu." Tangisku semakin menjadi-jadi, nafasku tak karuan, aku mencium kening ibu sekali lagi dan menutup kain putih itu seperti awal. Perlahan aku hapus air mataku, aku butuh tempat berbagi saat ini, aku merasa lemah, sakit, semangat hidupku hilang entah kemana, Insan menepuk bahuku, menatapku dengan tatapan yang memberikan semangat penuh untuk ku, hanya Insan yang tahu tentang hidupku walau hanya sedikit, hanya Insan yang sedikit bisa membuatku tenang saat ini. "Ran, gua tau posisi lu saat ini, gua pernah ada di posisi lu, sakit? iya sangat sakit... sangat hancur di tinggalkan oleh orang yang sangat kita cintai, tapi lu harus kuat, ini bukan untuk lu, tapi buat nyokap lu, coba untuk tenang dan mengikhlaskan semuanya itu yang terbaik buat nyokap lu, memang bukan suatu hal yang mudah, tapi gua yakin lu bisa Ran, dulu gua juga merasa nggak tau harus berbuat apalagi, tapi gua coba bangkit, karena gua yakin, hidup gua belum berakhir sampai disini. Ran, kehidupan itu panjang, hidup itu memang selalu di penuhi dengan banyak batu besar di depan kita, bahkan tak jarang kita bisa terjatuh hanya karena kerikil kecil, tapi itu lah yang membuat kita bisa lebih kuat, dan seimbang dalam menjalani hidup. Yang lu harus ingat, lu masih punya gua, Niko dan yang lain yang masih ada buat lo." ujar Insan yang mencoba menenangkanku, ya Insan memang benar, aku harus mengikhlaskan tapi memang tak mudah, dan akan sangat menjadi sulit. setidaknya saat ini saja, aku ingin sedikit bisa mencoba menerima ini semua dengan ikhlas tuhan...
Aku menjatuhkan diriku dilantai, teringat semua pengorbanan yang kulakukan demi Ibu, semua demi ibu.. hanya Ibu. tapi seakan semuanya sia-sia.. hilang, terbuang. Jika disuruh memilih, ingin rasanya aku menemani ibu disana, bersama selamanya dengan ibu tanpa harus memikirkan pahitnya hidup. ingin ku berteriak, bagaimana perasaan ini, bagaimana hancurnya aku saat ini.. Ya Allah...... aku LEMAH....
***
Insan
Aku memandang Randy dari kejauhan, membiarkan dia sendiri ditengah pilunya saat ini, derita hidupnya terlalu besar, aku tak pernah melihatnya seperti ini, Randy yang selama ini kukenal ceria, tertawa dibalik derita hidupnya, kini terlihat berantakan, aku menyesal mengapa selama ini tak pernah mencari tahu, membiarkan dia sendiri menghadapi ini, dia hebat bisa menyembunyikan segalanya, segalanya yang menurutku snagat sulit untuk dipendam sendiri. apakah selama ini memang aku dan Niko yang terlalu egois, selalu tidak pernah mau tau tentang kehidupan kami satu sama lain?
Melihat sahabatku Randy yang seakan hancur seperti ini, dadaku seperti ditusuk oleh beribu jarum, sakit, sesak, sesal, ya Allah. mengapa harus sekarang aku tahu tentang ini semua? kenapa harus disaat yang seperti ini? jika dari dulu aku tahu siapa dan bagaimana Randy sebenarnya mungkin aku dan Niko bisa sedikit membantunya. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menenangkan dan memberi support padanya, dan itupun mungkin tak berpengaruh besar untuknya, seakan semuanya terlambat, ya, sangat terlambat.
Ya Allah, beri kekuatan untuk Randy menjalankan ini semua, kembalikan Randy seperti Randy yang kukenal dulu, ceria, tak pernah mengeluh. Dan berikan aku kekuatan untuk membantunya pulih dari keterpurukan ini, dan tempatkan ibu Randy ditempat paling baik disisimu. Karena aku percaya, semua ini sudah jalanmu, Randy sahabatku, dan aku tak mau dia terus seperti ini. beri cahaya lagi dalam hidupnya.....