Gemuruh dan Badai yang Menghadang

18/06/2013 18:01

Bahagia seakan hilang..

Kesedihan pun datang menghampiri

Seiring hujan yang turun semakin deras

Seiring hujan yang menyatu dengan dengungan gemuruh

Semua seakan memaksa untuk pergi

Dari manisnya melodi gemuruh

 

Randy

    Pagi ini semua terasa berbeda, aku merasakan ada yang hilang, biasanya aku melihat sesosok wanita tengah terbaring lemah di kasur rumah sakit ini, walau tak pernah sedikitpun aku melihat sebuah senyuman selama 6 bulan ini. Tapi aku sungguh merindukannya, ya... sangat merindukannya.

    Hari ini aku sengaja mengunjungi rumah sakit, untuk melihat kamar rumah sakit yang menjadi tempat terakhir ibu menghembuskan nafasnya, tempat terakhir aku bisa melihat nya, tempat terakhir aku memeluknya, tempat terakhir aku bisa bersama - sama dengannya. Mungkin aku akan sangat merindukan ruangan ini, ruangan yang awalnya sangat aku benci karena bau nya yang tak ku suka, ruangan yang sangat ku benci karena peralatan medisnya. Tapi berkat ruangan ini pula, aku bisa mengalahkan phobia ku terhadap medis. Awalnya aku memang sekedar phobia terhadap suatu hal yang menyangkut medis, termasuk rumah sakit, namun sekarang phobia ku telah berganti menjadi trauma, ya... trauma yang sangat dalam. Mungkin setelah hari ini, aku tidak akan berani lagi untuk mengunjungi rumah sakit, aku tidak akan mau lagi berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan medis lagi. Karena aku takut bayangan kepergian ibu menghantui ku lagi, rasa sakit itu datang lagi...

    Selain untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal terhadap ruangan ini, aku juga ingin menemui Dr. Hendra, karena beliau telah banyak membantu ku, aku sangat berterima kasih sekali terhadap beliau, bahkan mungkin aku juga berhutang budi kepadanya, karena selama ini beliau telah banyak membantu ku, dari mulai membantu ku masalah ekonomi, kehidupan ku, dan terutama menyangkut ibu.

    Aku mencari nya ke setiap ruangan, termasuk ruangannya, namun aku tidak juga menemui Dr. Hendra. Akhirnya aku pun bertanya kepada suster Nindy, suster yang merawat Ibu ku, yang kebetulan tidak sedang dalam tugas, dan tengah berada di luar ruangan.

"Suster, apa suster lihat Dr. Hendra ?"tanya ku penuh harap, berharap aku menemukan jawaban dari nya.

Namun Suster Nindy hanya terdiam menunduk, entah apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya aku pun mengulangi pertanyaan ku.

"Sus, tolong jawab, soalnya saya sudah mencari - cari Dr. Hendra ke setiap ruangan, tapi aku tidak menemuinya, Dr. Hendra kemana?"tanya ku seraya menggoyangkan bahunya.

"Kamu yang sabar ya..."ucapnya seraya tersenyum sambil mengusapkan rambutku.

"Dr. Hendra kemana Sus?Jawab?"tanya ku memaksa.

"Dr. Hendra dipindah tugaskan ke Riau, saya tau ini memang berat buat kamu. Karena saya tau, kamu sudah menganggap Dr. Hendra seperti orang tua kamu sendiri. Dr. Hendra juga sudah menganggap kamu seperti anaknya sendiri, bahkan dia sebenarnya tidak tega untuk meninggalkan kamu sendiri di sini, tapi karena ini adalah tugas dan tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia akhirnya pergi."
   

    Seketika aku langsung merasa jatuh, karena aku memang sudah tidak punya siapa - siapa lagi disini, aku memang telah menganggapnya seperti Ayah ku sendiri. Aku sudah tidak tau harus berbuat apa, kali ini aku benar - benar terjatuh...sangat terjatuh.

    Entah, apa yang sekarang harus aku lakukan, aku kehilangan arah, aku kehilangan semangat hidup, aku benar - benar sudah buntu, tidak tahu harus berbuat apa lagi, bahkan untuk melanjutkan sekolah pun sudah tidak mungkin lagi.

    Setelah pergi mengunjungi ruangan per-istirahatan terakhir ibu, pergi mencari Dr. Hendra, aku juga tidak lupa untuk pergi mengunjungi tempat favorit ku di rumah sakit ini, ya.. balkon rumah sakit yang biasanya aku tempati saat melihat hujan, saat menunggu ibu, tempat yang akan aku rindukan pula, karena berkat tempat ini, aku telah mengerti arti hidup dari sebuah filosopi hujan, aku dapat mencintai hujan, dan berkat hujan akhirnya aku menemukan sahabat terbaikku, Insan, dan.. mungkin Niko, Insan pun kini menjadi seorang yang "mungkin" sahabat di mata ku. Karena semua kini telah berubah, semenjak kejadian kemarin.

**************

Insan

 

"San, jadi gimana tuh kabar si bocah nggak tau diri itu?"tanya Agus sewot dengan raut wajah acuhnya.

Aku yang mendengar pertanyaan tidak mengenakan itu sontak kaget "Nggak tau diri? lu kalau ngomong bahasa ya dijaga dikit kenapa sih Gus"ujar ku dengan tatapan sinis.

"Lah, emang bener kan?lu bayangin dong, dia di sekolah jadi wakil ketua OSIS, di kelas dia anak baru pindahan, tapi nggak pernah masuk. Apa bukan nggak tau diri tuh?"timpalnya semakin sewot.

"Nih ya gua bilangin, kalian tuh nggak tau apa - apa jadi jangan asal bicara aja"aku mencoba menjelaskan sambil menahan jengkel.

"Jangan pernah menilai orang dari luarnya saja, karna mungkin ia memiliki sesuatu yg luar biasa di dalamnya" sambung ku

Agus, dan juga teman - teman ku yang lain hanya menanggapinya dengan acuh.

"Randy tuh baru aja kehilangan Ibunya, selama ini dia tuh jagain Ibunya di rumah sakit, dia juga kerja untuk membiayai kehidupannya sendiri, dia juga seseorang yang Broken Home,  tapi yang selama ini nampak disikapnya kayak gimana? nggak terlihat kan? kalau dia adalah seseorang yang memiliki banyak masalah? dan itulah yang luar biasa dari dirinya." jelas ku kini, semua nya pun tercengang mendengarkan penjelaskan ku, tidak menyangka inilah kenyataan yang terjadi pada Randy, sahabat ku. Akhirnya, mereka semua mencoba untuk mengerti dan meminta maaf karena telah berburuk sangka. Diantara beberapa teman ku yang sudah mengerti, masih saja ada beberapa yang masih tidak mau mengerti, dan tetap menyalahkan dan menyudutkan aku, seperti Iqbal, Agus, dan Ilham.

******

"Gimana tuh kabar temen lu yang nggak tau diri itu" tanya Niko sinis sambil menyilangkan tangan didadanya, dan tentunya dengan tatapan acuhnya.

Aku yang melihat sikap Niko yang trlalu berlebihan rasanya ingin sekali marah kepadanya, namun apa daya, aku tidak pernah bisa untuk marah kepada teman ku yang satu ini. Aku pun hanya menjawab pertanyaannya tersebut dengan senyuman yang biasanya selalu aku pakai untuk menjawab segala pertanyaannya.

"Nggak usah senyum - senyumlah, gua lagi nggak pengen baca isyarat lu, tapi gua butuh jawaban pasti dari lu" ucap Niko dengan wajah seriusnya, dan dengan tatapan tajamnya, sikapnya itu bukan membuatku takut, justru membuat aku ingin tertawa, bagaimana tidak, raut wajahnya yang sebenarnya terlalu datar itu, sangat lucu bagiku setiap kali ia bersikap sinis, ataupun So cool, namun aku hanya bisa tersenyum saja, untuk membalas sikap nya tersebut.

"Nggak penting juga kan? nanti lu tanya aja sama orangnya langsung, tapi kalau nanya juga jangan nggak enakin.."jawab ku menasihatinya, karena aku takut akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakan kalau Niko bertanya dengan sikap yang seperti itu. Terlebih, Randy yang baru saja merasakan depresi yang sangat berat. Aku sangat tahu apa yang tengah Randy rasakan, karena aku juga pernah merasakannya, sakitnya kehilangan orang yang sangat berarti, tepatnya orang yang telah melahirkan aku.

"Seterah lu aja dah" jawabnya acuh, lalu berpaling dan melangkah pergi sambil tangan disilangkan di dada.

Aku pun hanya bisa tersenyum, yah.. seperti ini lah Niko, sahabat ku yang berbeda dari yang lainnya. Walaupun ia selalu bersikap tidak meng-enakan, tapi ia adalah orang yang telah berhasil merubah sedikit pola fikirku.

**********

"Jadi gimana San ? bagaimana kelanjutan hidup Randy ?" tanya Pak Ahmad

Menurutku, Pak Ahmad adalah guru sekaligus wali kelas yang paling peduli kepada anak muridnya, meskipun sikap dan sifatnya yang sangat konyol saat berada di dalam kelas, namun ia adalah guru yang sangat bijak dan peduli. Di balik sifatnya yang memang bertolak belakang dengan apa yang tengah aku lihat di depan mataku.

"Saya masih belum dapat kabar Pak, tapi saya sengaja membiarkannya tenang terlebih dahulu, karena saya tidak ingin mengganggu ketenangannya"jelasku dengan memasang raut wajah tersenyum.

"Hm... begitu ya, saya sih berharap dia bisa tetap sekolah meskipun dia tengah mendapatkan ujian yang sangat berat, karena mau bagaimanapun sekolah itu wajib, nanti kan bisa di urus masalah biaya dan segala macamnya"ujar beliau dia seraya bangun dan menepuk bahu kanan ku "Tolong kamu buat dia tenang yah, dan mau tetap sekolah, apapun yang terjadi"ucapnya tersenyum lalu pergi meninggalkan ruangannya, aku pun hanya membalasnya dengan senyuman, yang sedikit dicampur dengan raut wajah bingung.

    Aku yang masih duduk di dalam ruangannya hanya bisa menunduk, mencoba memutar otak, bagaimana bisa meyakini Randy, orang yang menurutku lumayan keras kepala, namun meskipun begitu, aku tetap mencoba untuk meyakininya dan meyakini diriku sendiri, karena kalau hati ini yakin, maka semua kan baik - baik saja, karena itulah kekuatan dari berfikir positif.

********

Randy

    Malam ini, aku hanya bisa terdiam, dan termenung memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku merasa telah berada di jalan yang buntu, jalan yang sudah tidak aku ketahui lagi arah dan tujuannya, jalan yang sudah tidak ada lagi cahaya di sepenghujung jalanku. Ingin rasanya aku mati, pergi dari semua kenyataan pahit ini, pergi dari segala kesulitan hidupku sendiri, pergi agar aku bisa lepas dari hidupku yang sangat berat ini,  ya... andai aku bisa melakukannya, sudah aku lakukan, namun setiap kali aku ingin melakukannya, aku selalu melihat bayangan Ibu, beyangan yang membuatku membatalkan niat bodohku ini.

    Sekarang, aku sudah tidak tahu harus apa, apa yang harus aku lakukan, dan untuk apa semuanya aku lakukan, karena sekarang, orang yang menjadi alasanku bersemangat, orang yang membuatku bertahan dari pahitnya hidup, orang yang aku perjuangkan hidupnya, kini sudah tidak lagi bersamaku, ia telah pergi, pergi ke tempat yang tidak bisa aku jangkau.

    Sampai detik ini, aku masih selalu menangis setiap kali mengingat sosok ibu, sosok malaikat yang telah membesarkan ku dengan sejuta kasih sayang,yang bahkan aku belum sempat dan bahkan tidak akan pernah bisa membalasnya. sosok yang selalu membuatku tertawa bahagia. Aku masih sangat ingat, saat - saat bahagia bersamanya, saat dimana kami pergi bersama - sama, tertawa bersama, dan bahkan aku masih sangat ingat hangatnya pelukan Ibu, ya meskipun sudah sedikit pudar, karena sudah lama sekali aku tidak dipeluk oleh Ibu, semenjak Ibu sakit dan terbaring di rumah sakit. Aku pun masih sangat ingat saat terakhir Ibu masih bisa bicara, ya bisa dikatakan itu adalah perkataan terakhir darinya, kala itu ibu sempat mengatkan kepadaku "Jadilah manusia yang bersikap seperti hujan gerimis, hujan yang bisa menenangkan jiwa dan menyejukkan hati, bukan menjadi hujan yang terbalut oleh petir dan angin kencang, bersikaplah tenang dikala mendapat ujian dan musibah, bukan mengandalakan emosi sesaat" ya..kata - kata yang belum bisa aku laksanakan sepenuhnya. 

    Aku juga masih sangat ingat, saat - saat terakhir Ibu. Saat Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, saat ibu memejamkan mata untuk terakhir kalinya, saat aku memandikan jasadnya, saat aku menyolatkannya, saat aku membawanya menggunakan keranda mayat menuju tempat peristirahatan terakhirnya, saat aku melihatnya untuk yang terakhir kali, hingga akhirnya jasad ibu pun dikubur didalam liang lahat. Di saat itu pula aku tidak bisa menahan air mata yang keluar dari mataku, derasnya air mata yang turun pun ikut bercampur dengan hujan yang tengah turun saat itu. Aku yang tengah duduk di depan rumah sambil memandangi hujan yang tengah turun, tak kuasa menahan air mata yang telah mengendap di dalam kelopak mata ini. Sakit... Sangat sakit.

    Seketika lamunanku buyar, saat seseorang datang dan menepuk pundakku sambil berkata "kamu masih tidak mau menerima saya?" ucap seorang pria gemuk berumur 46 tahun itu, yang tidak lain adalah seseorang yang pernah menjadi Bapakku, ya.. karena aku sudah tidak akan pernah mau menganggapnya orang tua lagi, setelah apa yang telah ia lakukan kepadaku, dan terutama kepada Ibu.

"Mau apa anda ke rumah saya?masih berani anda datang ke rumah yang telah anda tinggalkan untuk rumah lain? rumah yang hanya menjadi tempat singgah sementara di kala anda bosan?"ucap ku yang mendadak menjadi sangat emosi, dan sekejap pula air mata kesedihan ini berhenti hanya karena aku melihat orang yang sangat aku benci tengah berada dihadapanku.

"Saya datang kesini untuk minta maaf, dan ingin mengajak kamu untuk tinggal bersama istri saya"jawabnya dengan nada rendah dan dengan raut wajah memelas.

"Hah? saya tidak salah dengar? saya nggak akan pernah sudi untuk tinggal bersama orang tidak berhati seperti anda, apalagi malah mau mengajak tinggal bersama wanita yang anda jadikan pelarian? saya sangat muak dengan tingkah laku anda yang benar - benar tidak memiliki hati dan fikiran, lebih baik anda sekarang pergi ! sebelum saya benar - benar mengusir anda dengan cara yang lebih tidak sopan !!" usirku, yang lalu masuk kedalam rumah sambil menutup pintu sekeras mungkin, namun pria itu masih juga berdiri di depan pintu rumahku, dengan acuh aku meninggalkannya untuk segera masuk dan beristirahat di kamar.

    Namun, bukannya pergi, ia malah terus memanggil nama ku berkali, aku pun menyahutnya dengan kencang "sudah saya bilang pergi dari rumah ini!! jangan pernah ganggu kehidupan saya lagi!! " teriakku kencang dari dalam kamar, yang jaraknya tidak jauh dari pintu rumah. Setelah kurang lebih satu jam ia terus memanggil namaku, sambil mengetuk pintu rumah, akhirnya kini ia telah benar - benar pergi. Dan kini aku sudah bisa tenang, orang itu benar -benar sangat menggangguku, bahkan mengganggu kehidupanku. 

    Entah, seberapa besar dosa ini, apakah aku ini durhaka atau tidak, tapi satu hal yang aku tahu, aku membenci pria itu, orang yang telah menelantarkan anaknya, istrinya yang tengah sakit parah, sampai akhirnya meninggal, dan membiarkan aku, sebagai anaknya berjuang sendiri, sedangkan dia ? malah asik dengan "peliharaan" barunya.

**************

Insan

    Pagi ini hujan turun cukup deras, aku pun terbangun dengan perasaan yang sungguh tidak mengenakan hati, seperti ada sesuatu yang mengganjal di fikiranku, aku merasakan seperti akan ada sesuatu hal yang tidak mengenakkan terjadi. Bahkan semalam aku sempat bermimpi buruk, ya sangat buruk sampai aku harus terbangun di tengah malam. Dan semenjak itu, perasaanku semakin tidak enak. Aku sudah melaksanakan sholat malam pun masih saja merasa resah. Entahlah, aku hanya bisa berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk, baik kepadaku, keluargaku, maupun orang-orang terdekatku, dan terutama kedua sahabatku itu.

    Pagi ini aku berangkat sekolah, meskipun hujan tengah turun cukup deras diluar sana, namun aku tetap berangkat meski dengan memakai payung. Kali ini aku tidak langsung berangkat menuju sekolah, numun dengan datang kerumah Randy terlebih dahulu, untuk melihat bagaimana keadaannya saat ini. Namun, apa yang ku dapati tidak sesuai harapan. Randy tidak ada di rumah, bahkan nomor Handphone nya pun tidak aktif. Sungguh hal ini membuat kekhawatiranku bertambah besar, aku benar-benar takut akan terjadi sesuatu terhadap Randy.

    Akhirnya aku pun tetap berangkat ke sekolah, meski dengan perasaan hati yang tidak mengenakan.

    Sesampainya disekolah, aku dikejutkan dengan kehadiran sesosok orang yang sedang aku khawatirkan keadaannya, sesosok pria dengan memakai baju kaos di balut jaket berwarna abu-abu dengan menutup kepala menggunakan kupluk jaketnya. Ia terlihat sedang bersandar di tembok dekat kantin, mungkin untuk sekedar berteduh sambil meminum es. Ia memang sangat hobi meminum es, meski cuaca dingin sekalipun. Tanpa buang waktu aku pun datang menghampirinya.

"Eh Ran, gimana kabar lu ?" ucapku sedikit teriak sambil berjalan menghampirinya. Sesuatu hal terjadi, hal yang tidak pernah aku dapati dari seorang Randy, orang yang sangat aku kenal dengan tawanya, leluconnya, kini ia hanya menjawab pertanyaanku dengan sikap cuek, dan tatapan acuh, sambil tetap asik meminum es yang sedang dipegangnya.

"Lu kenapa sih? ngelihatinnya gitu banget sama gue?"tanyaku mengulang, berharap Randy akan memberikan sebuah jawaban. Namun hal yang sama masih saja terjadi, ia masih bersikap cuek dan acuh kepadaku, entah apa yang tengah terjadi kepadanya, hingga ia bersikap seperti ini, tidak seperti Randy yang ku kenal selama ini.

    Setelah ia selesai menyeruput minumannya tersebut, akhirnya ia berbicara, namun masih tetap dengan jawaban yang tidak sesuai harapanku. "Minggir lu, gua mau ketemu Pak Ahmad!!" ucapnya ketus sambil menabrakku yang berada didepannya. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti jalan fikiran Randy saat ini. Dengan pasrah, aku membiarkan dia pergi begitu saja, pergi dengan membiarkan tubuhnya terguyur hujan.

*****

    Di sebuah gubuk kecil di Riau..

Seseorang pria putih tinggi yang sedang memakai jas putih selutut, dan menggantung sebuah stetoskop di lehernya, tengah termenung disela tugasnya merawat pasien-pasien yang datang berkunjung ke tempat praktik yang sengaja didirikan untuk membantu masyarakat disana. Dengah raut wajah yang penuh penyesalan, dan tangisan yang kadang ingin hinggap ke pipinya. Ia memikirkan seseorang yang telah dianggapnya orang yang sangat berarti untuknya, seseorang yang sudah dianggapnya sebagai bagian dari dirinya, seseorang yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.

"Maafkan saya Ran, saya terpaksa melakukan ini, semua juga bukan ingin saya, andai saya memiliki waktu lebih untuk berpamitan kepada kamu, dan bahkan, andai saya tidak pernah dipindah tugaskan di tempat yang sejauh ini, mungkin saya memiliki banyak waktu untuk bisa menghibur kamu, mungkin saya bisa membuatmu bangkit dari semua keterpurukan ini, mungkin saya bisa melihat raut wajah bahagia di pipi kamu, maafkan saya..." ucapnya lirih dengan raut wajah penuh sesal, sambil termenung meski tengah menghadapi pasien yang tengah terluka, belakangan ini ia memang selalu tidak berkonsentrasi dalam bekerja, karena selalu terfikirkan Randy, penyesalan yang tiada berakhir. Tidak jarang pula, ia mendapatkan teguran, baik dari pasien yang bersangkutan, teman setugasnya, maupun atasannya. Karena selalu tidak berkonsentrasi dalam bekerja.

    Yang ada difikirannya, ia tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Randy sepeninggal ibunya. Terlebih, ia tahu betul bagaimana sisi kehidupan Randy yang sebenarnya, karena ia lah yang selama ini merawat Randy selama ibunya dalam perawatan rumah sakit. Ia yakin, Randy pasti sangat hancur, belum lagi masalah dengan Bapak kandungnya, ia hanya tidak ingin Randy melakukan hal negatif terhadap dirinya sendiri. Yang ia tahu, ia menyayangi Randy layaknya seorang ayah menyayangi anaknya sediri.

*******

Randy

    Akhirnya akupun memasuki sekolah dengan baju yang bukan seragam sekolah dan sedikit basah karena terguyur hujan. Setelah bertemu dengan Insan, orang yang "mungkin" sudah tidak penting lagi dihidupku. Aku berniat untuk datang menemui Pak Ahmad, untuk mengatakan yang sebenarnya, lalu menyatakan akhir dari semua permasalahan yang telah aku lahirkan sendiri. Dengan pakaian yang mungkin kurang sopan, aku nekat memasuki sekolah, dan lalu menuju ruangan guru, dan beruntung, aku berpapasan dengan Pak Ahmad, jadi aku tidak harus susah payah mencari beliau. Karena memang aku juga sedikit merasa tidak enak dengan pakaian yang tengah aku pakai saat ini.

"Akhirnya kamu datang juga Ran, saya sudah lama menunggu kehadiran kamu"ujar beliau tersenyum penuh arti, yang akupun tidak bisa mengerti apa yang ada dibenaknya saat ini.

"Ayo ikut saya"tambahnya seraya menarik tanganku, lantas aku heran dengan perlakuan beliau, apalagi beliau tidak membawaku ke ruangan guru, melainkan kedalam ruang kelas yang kebetulan tidak terpakai. Yang ada difikiranku saat ini adalah: apakah aku akan dicaci-maki? apakah aku akan diberi hukuman berat? apakah aku akan disiksa? hanya itu yang saat ini terlintas dibenakku. Bagaimana tidak? Pak Ahmad tidak membawaku ke ruangan guru, melainkan keruangan yang jauh dari ruang guru dan dari murid-murid lainnya.

Seakan mengerti dengan apa yang tengah aku rasakan saat ini, beliau tiba-tiba mengatakan agar aku tidak negatif. "Tenang aja, saya nggak akan ngapa-ngapain kamu kok"ucapnya sambil tersenyum lagi, dengan senyuman yang benar-benar tidak aku mengerti maksudnya. 

Menurutku, suasana kali ini benar-benar mencekam, ya seperti tengah berada di ruangan pengadilan, layaknya seseorang yang memiliki kesalahan yang sangat besar.

"Kamu rileks aja, kan saya bilang, saya nggak akan ngapa-ngapain kamu kok, saya sengaja membawa kamu kesini, agar guru-guru yang lain tidak tahu, apalagi dengan pakaianmu yang sangat tidak pantas berada di lingkungan sekolah ini."jelas Pak Ahmad menenangkanku. Aku pun hanya mengangguk, lalu menunduk.

"Bagaimana? sudah dalam keadaan rileks? kalu sudah, biar kita mulai sesi curhatnya"tambahnya seraya tertawa kecil, entah apa yang tegah ia ketawai, yang ada difikiranku saat ini hanya ketakutan, yang tengah aku kalahkan agar aku bisa se-rileks  mungkin, setelah beberapa menit, akhirnya aku sudah dalam keadaan yang rileks, Pak ahmad yang sudah tahu kalau aku kini telah berada di posisi rileks, akhirnya memulai pembicaraan.

"Sebenernya apa yang telah terjadi selama ini Ran?"tanyanya memulai sidang yang ia sebut sebagai sesi curhat tersebut.

Aku yang masih tidak tahu harus memulai darimana, akhirnya hanya bisa menunduk.

"Selama enam bulan belakangan ini, kamu ngapain aja?"tanyanya mengulang dengan pertanyaan yang sedkit lebih mendetail, namun aku masih saja hanya bisa tertunduk.

Merasa aku tidak memberikan respon apapun, akhirnya Pak Ahmad memberikan pertanyaan To do Point. 

"Sekarang, apa kamu masih mau melanjutkan sekolah ? setelah semua musibah yang telah kamu alami ini ?" tanyanya, yang secara spontan membuatku terkejut, kenapa ia bisa tahu apa yang sedang aku pertimbangkan.

"Kenapa kamu memasang wajah heran seperti itu? bingung ya ? kenapa saya bisa tahu semuanya? saya bisa tahu apa yang ada difikiranmu saat ini?" tanyanya lagi, tapi kali ini dengan memasang wajah penuh senyuman bijak. Entah, sekarang aku sudah tidak tahu harus seperti apa lagi. Akhirnya, aku yang sedari tadi hanya bisa diam dan tertunduk, aku memberanikan diri untuk angkat bicara.

"Saya bingung pak.." aku mengucapkan kalimat pertamaku, dengan tatapan mata yang mulai bergelinang air mata. Bukannya jawaban atas kalimat singkatku barusan, Pak Ahmad malah sengaja membiarkan aku semakin masuk dalam dimensi kesedihan. Air mata perlahan menetes, aku tak kuasa menahan pilu, apalagi kalau harus mengingat semua kejadian yang telah aku alami beberapa hari ini, apalagi kalau membayangkan saat-saat kepergian Ibu. Air mata ini semakin banyak yang turun, dan Pak Ahmad malah sengaja membiarkan aku terlarut alam kesedihan. Sampai akhirnya ia pun angkat bicara.

"Sudah keluar semua kah? air mata yang selama ini kamu pendam sendirian? air mata yang kamu tutupi dengan semua sikap bandel kamu?" ujar Pak Ahmad yang sontak membuatku kaget, kenapa ia bisa tahu? kalau selama ini aku terus berpura-pura dengan menjadi seseorang yang kuat, tegar, dengan menjadi seseorang yang bisa dibilang sangat nakal untuk ukuran seorang wakil ketua OSIS.

    Seakan bisa membaca fikiranku, Pak Ahmad langsung menyambut apa yang tengah aku fikirkan saat ini.

"Kamu tidak perlu heran seperti itu, selama ini saya selalu memperhatikan kamu, bahkan semua murid-murid saya. Saya selalu melihat setiap perkembangan setiap murid, masalah apa yang tengah ia alami, dan setiap pola tingkah lakunya"ucapnya sambil menatap ke arah ku yang tengah keheranan.

"Memang sih, kadang saya tidak turun langsung untuk menyelidikinya, saya juga mendapatkan bantuan dari murid-murid terbaik saya"sambungnya, sejenak aku langsung terfikirkan Insan, apa dia yang selama ini mencari tahu tentangku, dan memberitahukan semuanya ke Pak Ahmad, kenapa Insan bisa lancang seperti itu.

"Oke, kamu belum menjawab pertanyaan saya tadi. Jadi, bagaimana? apa yang akan kamu lakukan sekarang? dan apa tujuanmu datang kesini dengan pakaian bukan seragam sekolah?" tanyanya yang langsung membuyarkan lamunanku tentang kekesalanku terhadap Insan.

"Saya berniat mengundurkan diri dari sekolah Pak"jawabku dengan sangat menyesal.

Merasa mendapat tatapan tidak mengenakan dari Pak Ahmad, aku langsung meminta maaf kepadanya "Maafkan saya Pak, kalau selama ini saya menyusahkan Bapak, atau bahkan guru-guru yang lain" ucapku seraya meraih tangan Pak Ahmad lalu mencium tangannya.

"Kamu yakin? saya harap kamu mau berfikir dua kali, untuk keputusanmu. Masih banyak jalan untuk kehidupanmu itu, jangan menyerah begitu saja"ujarnya seraya melepaskan tangannya dari genggamanku.

Aku hanya bisa terdiam, karena aku benar-benar dilanda kerisauan, aku bingung, aku kehilangan sebuah harapan.

"Ran, saya tau apa yang kamu rasain itu sangat berat. Namun, masa depan kamu juga sangat penting, jangan kamu sia-siakan. Masalah biaya, sekolah bisa bantu, saya juga bisa membantu kamu."paksa Pak Ahmad, yang masih berusaha menahanku.
"Maaf Pak, keputusan saya sudah bulat, saya ingin menenangakan diri saya, saya ingin lepas dari semua ini, karena saya sudah terlalu lelah"ucapku tegas. 

    Pak Ahmad tetap bersikeras merayuku agar tetap mau bersekolah, setelah perdebatan yang cukup lama, Pak Ahmad akhirnya terdiam, ia terlihat kehabisan kata-kata, mungkin aku yang terlalu keras kepala, tapi semua memang sudah jadi keputusanku, semua sudah aku fikirkan jauh sebelum kejadian itu terjadi, aku sudah memikirkan bila aku harus kehilangan Ibu, apa yang harus aku lakukan, dan inilah yang akan aku lakukan.

Dengan menarik nafas panjang, Pak Ahmad pun akhirnya angkat bicara. Setelah suasana sempat hening beberapa saat.

"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi keputusan kamu, saya sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi, namun saya hanya pesan satu hal sama kamu, jangan pernah melakukan hal negatif untuk mencari ketenangan dan lepas dari semua beban kehidupan. Karena disetiap masalah, terdapat sebuah hadiah terindah untuk kamu miliki, jika kamu bisa bersabar dan tabah menjalaninya."ucapnya yang sempat membuatku sedikit tergugah, namun aku tetap pada pendirianku, untuk masalah apa yang akan aku lakukan, aku tidak tahu, semua tergantung situasi dan kondisi.

"Baik Pak"ucapku dengan senyuman palsu, yang mungkin juga disadari olehnya. Lantas, akupun pamit untuk pergi dari ruangan dan tentunya pergi untuk meninggalkan sekolah ini, beliau hanya berpesan agar aku selalu dekat dengan Allah, karena itu yang akan membuat hambanya menjadi kuat.

    Aku pun pergi melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tersebut. Tidak jauh dari ruangan tersebut, ternyata Insan sudah menunggu ku di luar sana dan langsung menyambutku.

"Ran, gimana? lu tadi ngomong apa aja sama Pak Ahmad?"tanyanya bersemangat seraya mennghampiriku, aku pun hanya menanggapinya dengan tatapan sinis, dan tentunya acuh. 

"Ran, ih ngomong atuh? kumaha?"tanyanya lagi dengan logat sundanya.

"Bacot lu!!" jawabku singkat dengan tatapan sinis seraya melangkah pergi meninggalkan Insan yang tengah berdiri heran melihat sikapku kali ini, sikap ku yang telah berubah drastis, sikapku yang sudah berbeda dari sebelumnya, dan tentunya berbeda dari Randy yang ia kenal. Mungkin saat ini ia sedang merasa sakit hati atas sikapku, namun itu tidak akan aku perdulikan, karena memang aku sudah tidak akan mau perduli lagi. Insan pun hanya menatapku yang semakin melangkah pergi meninggalkan sekolah dengan menyusuri rintikan hujan. Tentunya dengan tatapan haru.

    Setelah keluar dari lingkungan sekolah, akhirnya aku bertemu dengan sahabatku satu lagi, mungkin lebih tepatnya mantan sahabatku, di dekat kantin sedang berteduh.

"Eh, ada anak nggak tahu diri baru menampakkan dirinya di sekolah" ucapnya sinis dengan gaya sok kerennya dan dengan tatapan acuhnya.

Aku yang merasa tidak suka dengan ucapan yang baru saja ia katakan, lantas tidak terima dan langsung menghampirinya.

"Ngomong apa lu barusan hah?" ucapku sambil menunjuk kearahnya.

Dia pun hanya menanggapinya dengan santai dan tetap dengan gaya nya tersebut. "Emangnya ada yang salah dengan ucapan gue barusan ya?" ucapnya santai sembil menepis tanganku yang menunjuk kearahnya. Suasana yang semakin panas meskipun cuaca lumayan dingin itu seakan membuatku ingin rasanya memukul wajah sok kerennya itu, namun karena masih di dalam lingkungan sekolah, aku akhirnya menyeretnya pergi jauh dari lingkungan sekolah. "Udahlah, jangan banyak bacot lu, ikut gua sini!!" ucap ku yang telah termakan emosi, lalu menariknya pergi. Ia pun hanya mengikutiku tanpa sedikitpun menolak. mungkin karena ia telah mengerti apa yang aku maksud.

    Kami akhirnya pergi dengan sama-sama diguyur hujan, ketempat yang lumayan sepi yang tidak  begitu jauh dari sekolah. Sesampainya kami ditempat tujuan, aku langsung memakinya dengan kata-kata yang cukup menyulut emosi. "Heh!! maksud lu apa sih selama ini? gua heran sama lu, lu selalu aja negatif ke gue, lu selalu ngejelekin gue, mau lu apa hah?"tanyaku memaksa sambil menarik kerah bajunya, ia pun hanya menanggapi ucapanku dengan santai dan tersenyum, sambil mencoba melepaskan tanganku dari kerah bajunya.

"Yaudah, nggak usah pake segala main kerah juga kali, bikin lusuh baju gue aja"ucapnya santai.

Brrraaakkkk...

Aku melontarkan satu pukulan menggunakan tangan kananku, tepat dirahang kanannya. "Denger ya sekali lagi, gua udah muak sama lu, sama sikap sok keren lu, sama sikap sok paling bener lu, sama semua fikiran negatif lu terhadap gue, asal lu tau ya !! gua punya beban dan masalah yang lebih berat dan penting daripada bacotan gak guna lu itu."ucapku keras masih memegang kerah bajunya yang sudah sedikit robek. Entah, apa yang difikirkan manusia satu ini, ia benar-benar tidak memberikan satupun balasan atas pukulanku barusan.

"Gila ya, lu tuh sok kuat banget jadi orang" Aku melayangkan satu pukulan lagi di kepalanya, kali ini ia sedikit merasa sakit pada kepalanya, belum puas, aku menghantamnya lagi dengan tangan kiri ku ketubuhnya, kali ini ia sempat menyucurkan darah dari mulutnya.

"Gimana? udah puas?" ucapnya tertatih namun masih dengan ekspresi tersenyumnya. "Silahkan pukul sepuas hati lu, kalau itu bisa ngebuat lu lebih baik" sejenak aku langsung berfikir, apa maksud dari perkataannya barusan. Namun karena hati ini sudah diselimuti kabut emosi, aku tidak menggubris ucapannya tersebut, aku pun mendorongnya kencang hingga ia jatuh tersungkur, dan kepalanya terbentur batu besar yang ada dibelakangnya. Ia akhirnya tidak sadarkan diri, tubuhnya pun bermandikan air hujan yang bercampur darah dari kepalanya.

"Ran, apa-apaan sih lu!!" teriak seseorang dari kejauhan sambil berlari menerpa hujan. Yang tidak lain adalah Insan, orang yang pasti akan ikut campur dalam urusan ku.

Insan berlari kecil menuju kearah kami, dan ia pun sontak kaget melihat sebuah pemandangan memilukan, sahabat terbaiknya tengah tersungkur tak berdaya dengan darah yang bercucuran dari kepalanya, bahkan tak sadarkan diri. Ia langsung menuju ke arah Niko, dan mencoba membangunkannya, namun Niko tidak sedikitpun memberikan respon.

"Maksud lu apa sih Ran, bisa-bisa nya lu lakuin ini sama sahabat lu sendiri!" ucap Insan yang sedikit termakan emosi.

"Sahabat? sahabat kata lu" ujarnya seraya tertawa kencang. "Mana ada sahabat yang selalu ngejelekin sahabatnya sendiri, mana ada sahabat yang selalu berfikiran negatif sama sahabatnya sendiri. NGGAK ADA!!" aku memberikan penekanan pada kata terakhir. "Denger ya, lu sama Niko itu nggak ada bedanya, gue fikir lu sahabat gue, orang yang bener-bener bisa gue percaya. Tapi nyatanya, lu jadi mata-mata buat guru-guru" Insan hanya bisa tertunduk dan diam, entah sebuah penyesalan atau apapun itu, yang jelas mulai sekarang, aku juga membenci dia, ya.. sangat membencinya.

Setelah beberapa saat tertunduk, ia akhirnya mengangkat kepalanya dan mulai angkat bicara. "Ran, kenapa sih? kita harus seperti ini? kenapa juga lu harus benci sama gue? gue bukan jadi mata-mata, tapi gue cuma ngasih tau kabar lu ke mereka, agar mereka bisa ngerti, apa itu salah? iya?"ucapnya sambil masih mencoba membangunkan Niko.

"Gue nggak perduli, dan satu hal lagi, gue sangat benci sama lu karena lu salah satu faktor gue kehilangan Ibu gue,lu ingat? siapa yang ngajak dan maksa gue untuk pergi waktu liburan? lu kan? padahal saat itu Ibu gue sedang parah-parahnya, makanya gue jadi kefikiran terus disepanjang jalan, andai aja gue nggak pergi, gue masih punya sedikit waktu buat jagain Ibu gue,dan gue nggak akan dihantui rasa menyesal samapi detik ini, dan semua karena lu San"ucap ku yang tidak terasa telah  meneteskan air mata sedikit demi sedikit, Insan pun terlihat sangat menyesal, dan matanya pun ikut bergelinang.

"Maafin gue Ran, kalau gue salah, karena waktu itu udah ngajak kalian pergi, tapi semua itu karena gue nggak tau apa yang terjadi, andai aja lu bilang sama gue, sama Niko dari awal, mungkin nggak akan terjadi seperti ini" ucap Insan memasang wajah Innocent nya dengan penuh sesal.

"GUE UDAH BILANG GUE  NGGAK PERDULI!!"potongku dengan nada keras. "Udahlah, lu urusin aja teman nggak berguna lu itu, gua mau pergi" ucapku lalu melangkah pergi. Insan pun tidak dapat berbuat banyak, karena saat ini, Niko juga membutuhkan bantuannya.

    Aku pun pergi menyusuri hujan yang cukup deras, dengan memandangi kedua tanganku.

    Ya Allah, salahkan semua ini? salahkan semua yang terjadi? yang aku tahu, aku hancur, aku tidak tahu harus berbuat apalagi, dan aku ingin pergi, pergi ketempat yang tidak terjamak oleh siapapun. Maafkan aku Ya Allah...

    Ucapku dalam hati, dengan tubuh yang gemetar karena kedinginan sambil terus melihat kedua tanganku, lalu merapalnya. dan sesekali memikirkan keadaan orang yang baru saja aku buat tak berdaya, tapi sudahlah.. aku sudah tidak akan pernah perduli lagi. Dan mulai detik ini pula, aku akan membenci hujan. Aku lalu tersenyum dengan senyuman layaknya sesorang psikopat.

*****

Insan

    "Bagaimana Dok, keadaan teman saya?" tanyaku kepada dokter yang menangani Niko di bagian UGD.

    "Untuk saat ini kami belum bisa memastikan keadaannya, yang jelas ia masih tidak sadarkan diri, dan membutuhkan perawatan total. Benturan dikepalanya cukup keras, sehingga membuat cukup banyak yang keluar, jadi sampai saat ini ia masih harus berada di ruangan UGD" jelas dokter tersebut.

    Aku benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi kepada Niko, dan juga Randy. Aku tidak menyangka kedua sahabatku bisa melakukan hal diluar dugaanku, Randy yang dengan tega nya hampir membunuh sahabatnya sendiri tanpa sedikitpun ada penyesalan didirinya, Niko, sampai harus terbaring tak berdaya seperti ini. AKu bahkan tidak tega melihat keadaan Niko saat ini.

    Untungnya, aku sudah menghubungi kedua orang tua Niko, hingga akhirnya mereka pun bisa datang cepat.

"Bagaimana keadaan Niko, San?" tanya Ibu nya Niko yang sudah kelewat khawatir. Dan Bapaknya yang berdiri disampingnya dengan sikap tenang.

"Ibu tenang dulu, jangan terlalu seperti itu" ucap Bapaknya Niko menenangkan.

"Bagaimana Ibu bisa tenang Pak, anak semata wayang kita terbaring nggak sadarkan diri kayak gini, apa bisa Ibu tenang? aku yang melahirkannya Pak, aku yang merasakan sakitnya melihat keadaan anak kita seperti ini"ucap Ibu Niko dengan nada terbata-bata karena dibarengi dengan tangisan.

"Iya, Bapak ngerti tapi toh percuma Ibu bersikap seperti ini, kita nggak akan bisa  berbuat lebih. Sekarang Ibu harus bisa tenang" 

    Kedua orang tua Niko benar-benar sangat menyayanginya, ya..terkadang suasana seperti ini membuatku iri, karena tidak pernah mendapatkan perlakuan yang sama.

"Tadi dokter bilang, untuk saat ini dokter belum bisa memastikan keadaan Niko Pak-Bu. Jadi, untuk sementara kita hanya perlu berdoa, semoga Niko baik-baik saja."ucapku memberikan jawaban kepada kedua orang tua Niko. Namun, Ibu Niko tidak henti-hentinya menangis, seraya memeluk suaminya.

Kami akhirnya duduk bersama diruang tunggu, sambil sesekali melihat kearah Niko, melihat bagaimana keadaannya saat ini.

"Sebenernya, apa yang telah terjadi San? sampai Niko bisa seperti ini?tanya Bapak Niko, pertanyaan yang cukup sulit untuk aku jawab, karena aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya, kalau Niko diserang oleh temannya sendiri, tapi aku juga tidak mungkin berbohong kepada beliau, sungguh ini adalah hal yang mebuatku sangat bingung. Ya Allah bantu aku untuk bisa mengatakan yang sejujurnya. Ucapku dalam hati sembari menunduk.

"Kamu takut mengatakan semuanya? tenang aja, saya nggak akan menuntut ataupun memarahi kamu kok" ucapnya, yang seakan mengerti kegelisahan yang tengah aku hadapi.

Dengan sedikit gugup, akhirnya akupun memberanikan diri untuk ujur kepada beliau.

"Mmmm.. anu Pak"ucapku gugup sekaligus gemetaran, baru kali ini aku merasa takut saat berbicara seperti ini.

"Anu apa? bilang aja nggak usah takut gitu"ucapnya lagi. mencoba menenangkanku.

Akupun menarik nafas panjang, lalu...mencoba sekali lagi untuk mengatakannya.

"Niko habis berkelahi dengan Randy Pak" jawabku dengan penuh ketakutan, takut beliau akan marah besar, takut beliau akan memarahi ku pula. Badanku kali ini benar-benar gemetaran. Namun, apa yang menjadi ketakutanku malah berbanding terbalik. Beliau tersenyum lebar, seakan mengerti dengan apa yang terjadi pada anaknya tersebut.

"Jadi begitu ya.. anak itu memang tidak pernah berubah, selalu saja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri"ucapnya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Aku benar-benar tidak mengerti, apa maksudnya ini. Anak dan Bapaknya sama-sama memiliki sifat yang sama, memiliki seribu hal yang sulit dimengerti oleh orang lain.

"Jadi, Bapak nggak marah? atau mau menuntut Randy?"tanyaku heran.

"Marah? nuntut? untuk apa San.. kalaupun saya marah dan menuntut, itu tidak akan merubah sikap dan sifatnya, Yang ada itu hanya akan menjadi beban lagi untuk anak tersebut, dan anak itu akan semakin bandel. Mendidik anak itu bukan harus melulu dengan hukuman dan kekerasan, bukan juga dengan kelembutan, yang ada anak itu jadi manja. Tapi mendidik anak itu dengan kita ikut masuk kedalamnya, kita harus tetap biarkan ia mengalir, saat merasa sudah melampaui, barulah kita sedikit mengarahkan, itu pun bukan dengan terpaan angin kencang."jelasnya, walaupun aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang beliau maksud.

"Saya tahu, apa yang Niko maksud, saya yakin ia sengaja membiarkan Randy menghabisinya, bukan karena ia lemah, dan bukan pula karena ia tidak mau melawan temannya sendiri. Tapi saya yakin, Niko memiliki cara khusus untuk menyelesaikan masalahnya sendiri."tambahnya, aku sekarang yakin, dangan apa yang aku rasakan selama ini, apa yang aku fikirkan selama ini tentang Niko. Dan akupun sekarang yakin, kalau semua akan baik-baik saja.

Aku pun membalas ucapan Bapak Niko dengan senyuman tanda mengerti.

"Terima kasih Pak, atas pengertian dan masukannya" ucapku sedikit menundukan kepala.

****

    Satu bulan sudah, Niko dirawat di rumah sakit. Sudah satu bulan juga Niko tak kunjung sadar dari komanya, setelah dinyatakan terkena penyakit gegar otak sedang. Setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk datang kerumah sakit, untuk melihat bagaimana keadaan Niko, dan juga ikut bergantian menjaga Niko dengan kedua orang tua nya. Aku menjaga dari sepulang sekolah sampai malam, sedangkan orang tua Niko dari malam hingga siang hari. Kadang kalau aku tidak datang, mereka harus lembur menjaga Niko.

   Sampai detik ini, aku tidak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Niko sahabatku, hanya bisa terbaring tak sadarkan diri. Sedangkan Randy, entah dimana sekarang ia berada. Aku sudah berusaha mencari dia kemana-mana, namun hasilnya nihil. Rumahnya pun jadi tak berpenghuni, nomor handphonenya tidak aktif lagi. Mencoba bertanya dengan beberapa orang yang mengenalnya, tidak ada satupun yang tahu dimana keberadaan Randy. Bahkan aku sudah putus asa, seakan sudah tidak ada harapan lagi, harapan untuk dapat melihat Niko sembuh, harapan untuk dapat menemui Randy, dan harapan untuk RaInNi dapat kembali bersatu..

    Hari ini, dibawah derasnya hujan yang turun membasahi sekujur tubuhku. Aku telah sampai diujung lelah pencarian, aku benar-benar sudah putus asa. Aku berjalan disepanjang jalan tanpa sedikitpun mengenakan pelindung dari hujan, aku membiarkan tubuhku bermandikan air hujan, walaupun harus menggigil karena tak kuasa menahan dinginnya hujan yang turun. Aku tak perduli, karena yang aku tahu, aku telah putus asa, aku telah benar-benar terjatuh.

    Saat aku berjalan dipinggir trotoar menuju arah rumah sakit tempat Niko dirawat, yang kebetulan dekat dengan sebuah mall. Tiba-tiba ada sebuah suara yang datang dari halte didepan mall.

"INSAN!!" Teriak seseorang tersebut sambil melambaikan tangan kearahku. Aku sontak langsung mengalihkan pandanganku kearah datangnya suara tersebut, namun karena mata ku yang sudah minus, dan kacamata ku pun banyak terdapat air nya, aku jadi tidak dapat melihat dengan jelas. Ia pun terus-menerus berteriak memanggil namaku, karena aku yang tidak memberikan respon, akhirnya orang tersebut menghampiriku dengan mengenakan payung.

    Sesampainya ia didekatku, ia pun langsung berceloteh memarahiku karena aku yang tidak merespon saat dipanggilna. "Ah, lu mah kebiasaan San, kalau dipanggil nggak pernah nyahut. Jangan-jangan kuping lu bermasalah ya"

Aku pun kaget, ternyata orang tersebut adalah Fitri. Karena melihat aku yang tengah basah kuyup, ia pun langsung sigap memayungiku, dan membawaku ketempat yang teduh. Sesampainya kami ditempat yang teduh, ia mengeluarkan handuk kecil berwarna biru muda dari tasnya, dan memberikannya padaku.

"Nih pake, badan lu udah pada basah semua tuh"ucapnya sambil menyodorkan handuk kecilnya tersebut.

"Hmm..makasih'jawabku singkat sambil mengeringkan kepalaku dengan handuk kecilnya.

"Lagian, lu ngapain sih San hujan-hujanan segala!! kayak anak kecil aja"ucapnya sinis mirip seperti seorang ibu memarahi anaknya yang nakal sambil memajukan bibirnya.

Aku lantas heran, kenapa dia bisa sebegitu pedulinya denganku, entahlah.. mungkin karena tidak tega saja melihat seorang laki-laki tinggi nan kurus kehujanan, yang mungkin mudah saja terkena penyakit.

"Nggak apa-apa kok Fit"ucapku tersenyum tipis dengan masih sibuk mengeringkan beberapa bagian tubuhku.

"Tumben lu perduli banget sama gue"sambungku seraya tersenyum nakal.

"Pede banget sih lu, gue cuma nggak tega aja, lu kan kurus, nanti kedinginan makin kurus"ucapnya tertawa lepas, benar saja apa yang baru saja aku fikirkan. Ia pasti hanya tidak tega melihat aku yang tinggi nan kurus ini.

"Terus, lu sendiri ngapain berdiri dihalte gitu? padahal lu bawa payung?kenapa nggak langsung pulang aja?"tanya ku mencoba mengalihkan.

"Gua cuma lagi asik aja ngelihatin hujan, makanya gua nggak mau buru-buru pulang. Lagipula rumah gue juga nggak jauh kok dari sini"jelasnya. Akupun hanya menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum, karena merasa pembicaraan kami terlalu garing dan datar.

    Akhirnya kami sempat terdiam dalam beberapa menit sampai akhirnya Fitri mengajakku kerumahnya untuk sekedar berteduh."Main kerumah gue aja yok, kasihan badan lu udah lepek gitu"ucapnya sambil menarik tanganku, memaksaku, dan menuntunku menuju kearah rumahnya.

    Sesampainya kami dirumah Fitri, aku langsung disuruh masuk kedalam, dan kebetulan bertemu dengan Ibu nya Fitri.

"Eh dek Insan, silahkan masuk"ucapnya mempersilahkanku untuk masuk. Namun aku merasa ada sedikit keganjalan, mengapa ia bisa tahu namaku?padahal ini kali pertamanya aku datang kerumah Fitri. Entahlah, biar aku yang bertanya langsung kepada yang bersangkutan.

    Setelah masuk kedalam kamarnya, Fitri pun keluar dengan membawa handuk biru tua dan langsung diberikannya kepadaku."Mandi gih, kasihan lu, takutnya nanti sakit"ucapnya sambil melempar handuk ditangannya. Dan akhirnya aku pun menuruti permintaannya untuk segera mandi, setelah awalnya aku sempat menolak.

    Setelah selesai shalat, Fitripun menyuguhkanku segelas air teh hangat beserta cemilan biskuitnya. Kami pun duduk diluar rumah, memandangi hujan, sambil bercerita banyak, karena kami telah lama tidak bertemu bahkan tak pernah sedikitpun mengobrol lepas seperti ini.

“Gimana kabar lu San?” tanya Fitri memulai pembicaraan.

“Baik kok”singkat ku

“Terakhir kali kita ketemu kalau nggak salah dua bulan lalu di busway ya..”tanyanya mengingat-ingat.

“Iyah, waktu itu gue mau liburan sama kedua sahabat gue..hmm iyah sahabat” Ucap ku menunduk sambil mengulang kata “sahabat”. Iyah, sahabat ku yang entah sekarang dimana, sahabatku yang sekarang tengah terbaring tak berdaya.

“Kok tampang lu langsung sedih gitu San? Ada apa emang? Cerita aja sama gue.. no prob kok..”ucapnya menawarkan diri untuk menjadi tempat cerita.

            Terkadang aku bingung. Haruskah aku menceritakan masalah ku ini kepada orang lain atau tidak.Karena selama ini aku tidak pernah menceritakan masalah ini pada siapapun, termasuk teman-teman sekelasku, ataupun Pak Ahmad sekalipun. Aku tidak mau ini menjadi sebuah masalah baru lagi kalau aku sampai menceritakannya kepada orang lain. Aku hanya bilang kesekolah, kalau Niko sakit karena kecelakaan. Bukan karena ulah sahabat ku sendiri, bukan karena kelalaianku menjaga mereka.

“San, kok malah bengong gitu? Malah makin sedih gitu. Kenapa sih sebenernya? Cerita dong sama gue. Gitu nih nggak mau curhat-curhat sama gue”ucapnya dengan memasang wajah cemberut.

Aku yang sadar Fitri membangunkanku dari lamunan, langsung melempar senyuman tipis kearahnya.

“Ah, lu mah kebiasaan senyam-senyum doang” kali ini dia memasang wajah yang semakin cemberut sambil menyilangkan tangannya.

“Udah, jangan cemberut gitu, nanti cantiknya hilang”ucapku mencoba merayunya.Lantas ia pun langsung tersipu malu mendengar ucapanku barusan.

“Gimana ya.. gue bingung harus mulai dari mana..”aku memulai cerita. Ia yang tengah duduk bersandar pun membenarkan duduknya agar bisa mendengarkanku lebih serius.

“Jadi gini, lu ingat kan sama kedua sahabat gua yang waktu itu kita ketemu?”ujarku, dia pun menanggapinya dengan menganggukkan kepalanya saja.

“Mereka adalah Randy dan Niko, mereka adalah sahabat terbaik gue.. tapi...”ucap ku menunduk.

“Tapi kenapa San?”tanya Fitri penasaran.

“Tapi sekarang kami udah nggak bisa sama-sama lagi.”Aku semakin merasa sedih.

“Niko sekarang koma, dia dirawat di rumah sakit udah sebulan ini”

“Terus yang satu lagi?”tanyanya

“Randy? Gue nggak tau sekarang dia dimana..”

“Nggak tau? Lah kan lu sahabatnya, masa lu nggak tau dia dimana?” Fitri semakin bingung dan penasaran.

            Aku sempat sejenak diam, tak kuasa mengatakan yang sebenarnya kepada Fitri, namun karena sudah terlanjur bercerita. Aku harus mengatakannya.

“Randy pergi. Setelah dia bikin Niko koma”Fitri pun langsung kaget mendengar pernyataanku barusan. “Tunggu, Randy bikin Niko koma? Gimana bisa?” Fitri semakin bingung dan tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi.

“Iyah, Niko koma setelah mendapatkan serangan dari Randy dan kepalanya terbentur batu. Bahkan dia kena gegar otak sedang” Fitri semakin tak percaya dengan apa yang telah terjadi antara kedua sahabat ku tersebut.

“Mereka berdua emang nggak pernah akur. Kadang gue juga bingung, kenapa seperti itu. Tapi ya kenyataannya emang kayak gitu, dan keadaan memuncak saat Randy ditimpa musibah, Ibunya meninggal, dan Bapaknya selingkuh disaat Ibu nya sakit parah. Sampai ia sangat membenci Bapaknya sendiri. Niko, orang yang penuh misteri dalam bersikap ini malah memberikan pernyataan tidak mengenakan terhadap Randy, yang mungkin membuat Randy kesal hingga mereka harus berkelahi seperti itu. Hingga akhirnya, Niko harus tak sadarkan diri.”aku menutup ceritaku dengan wajah yang semakin sedih mengingat semua kejadian tersebut. Fitri yang tidak tega lantas membiarkan ku diam sejenak, sampai akhirnya dia bertanya kembali.

“Terus lu udah nyari Randy?”tanya setelah membiarkanku diam beberapa menit.

“Udah, sering bahkan tiap hari, bahkan gue sampai patah semangat. Dan ini alasan kenapa gue hujan-hujanan, karena gue udah bener-bener putus asa. Hari ini gue juga habis nyari dia lagi, tapi nggak ketemu juga” jelasku.

“Tiap hari gue nyoba cari keberadaan Randy dan juga mnyempatkan diri buat jenguk Niko sekaligus jagain dia bergantian dengan keluarganya”tambahku.

 Fitri pun mengangguk dan tersenyum tanda mengerti.

“Mulai besok, gue akan temenin lu nyari Randy dan nungguin Niko di rumah sakit. Gimana?? Boleh kan?”ujarnya dengan senyuman manisnya, senyuman yang membuatku mengaguminya, senyuman yang telah membuatku semangat kembali.

“Boleh kok, makasih yah..”ucapku ternyum simpul.

************

    Aku mengambil secarik foto dari dompet, sebuah foto yang meggambarkan kehangatan, kebahagiaan, dan kebersamaan. Difoto tersebut terlihat tiga orang lelaki tengah berdiri didepan tugu bertuliskan Jawa Barat. Terlihat senyum kebahagiaan nampak difoto tersebut. Aku hanya bisa memandangi foto tersebut dengan perasaan sedih, sakit, dan teriris. Karena faktanya, tiga orang lelaki difoto tersebut sudah tidak lagi saling bersama.

    Gue kangen kalian,gue kangen saat-saat membahagiakan seperti ini, gue kangen ribut-ribut kalian, gue kangen ketawa bareng kalian, gue kangen Niko yang selalu bersikap dingin dan hobi mengkritik orang, gue kangen Randy yang selalu mencairkan suasana dengan humornya, gue kangen RaInNi yang selalu bersama disetiap rintikan hujan. Ya allah, kenapa harus terjadi seperti ini? Rintihku sambil menatap foto bersama kedua sahabatku tersebut, dengan tangan kiri mengepal.

     Tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunanku dengan  menepuk bahuku.

“San, lama ya nunggunya?’ucapnya dengan wajah gelisah.

Aku pun menoleh kearahnya seraya buru-buru mengumpatkan foto tersebut kesaku celanaku.

“Eh..lu Fit, ehmm nggak lama kok” Jawabku dengan senyuman panik. Aku tidak ingin Fitri tahu kalau aku masih saja bersedih, karena aku sudah berjanji kepadanya agar bisa menjadi lelaki yang kuat.

“Tuhkan, lu ngumpetin apaan tuh” tanyanya penasaran sambil melihat kebelakang badanku.

“Hmm.. bukan apa-apa kok” aku tersenyum dengan nada terbata-bata.

“Nggak mau jujur nih sama gue?”ucapnya dengan wajah sebalnya.

“Iya-iya gue jujur deh sama lu. Gue Cuma lagi ngelihatin foto kami pas jalan-jalan ke TMII waktu itu.”jawabku sambil menyodorkan foto tersebut. Ia pun langsung mengambil foto tersebut dari tanganku.

Dia sejenak terdiam mengamati foto tersebut, sambil sesekali memfokuskan pandangan pada wajah kami.

“Disini kalian bener-bener akrab banget kelihatannya, Niko menampilkan senyuman yang sangat tulus, dan Randy..ehmm..”tiba-tiba ia berhenti saat melihat wajah Randy.

“Randy terkesan terpaksa menaruh senyuman dibibirnya, tatapan matanya seperti seorang yang tengah menghadapi ujian berat” lanjutnya mendeskripsikan tentang foto yang dilihatnya.

“Hmmm.. terpaksa karena sedang punya beban ya..”ucapku pelan.

Seketika aku ingat perkataan Randy sebelum ia benar-benar pergi. Saat itu ia mengatakan kalau ia membenciku karena aku penyebab ibunya meninggal dan penyebab ia kehilangan banyak waktu untuk Ibunya tersebut. Karena aku memaksanya pergi. Jadi ini yang dia maksud, jadi ini penyebab ia terlihat murung kala itu, saat kami harusnya bersenang-senang, ia malah bersedih. Jadi ini alasan mengapa ia terlihat berbeda dari biasanya.

Aku sekarang mengerti, mengapa ia begitu membenciku waktu itu. Aku sekarang mengerti mengapa ia berubah sikap saat aku terakhir kali bertemu saat itu. Aku sekarang mengerti. Aku benar-benar sangat menyesal, andai waktu bisa diulang, aku pasti tidak akan mengajaknya pergi saat itu, aku pasti akan membiarkannya menghabiskan waktu bersama Ibunya.

Maafin gue Ran.. gue nyesel banget..

Fitri hanya bisa memandang ku dengan penuh pengertian, dia mungkin mengerti apa yang tengah aku fikirkan saat ini, dia mungkin mengerti kalau saat ini aku tengah berada didalam sebuah penyesalan yang begitu dalam.

“Makasih yah Fit..”ucapku tersenyum tipis.

“Sama-sama San..” Dia membalasnya dengan senyuman manis.

“Eh ngomong-ngomong, lu pinter juga membaca raut wajah ya..hehe”ujarku memecah suasana.

“Ah..biasa aja hehehe ini juga boleh baca-baca buku aja kok’

“Oh gitu, gue kirain mau jadi peramal”ucapku dengan tertawa renyah.

“Oh iya, By the way hari ini tujuan kita mau kemana?” tanyanya. Hari ini kami memang janjian untuk pergi mencari Randy, kerumah sanak saudaranya yang berada disekitaran Jakarta.

“Kita pergi kedaerah Kuningan aja dulu, gue baru dapat info kalau Randy pernah tinggal disana beberapa hari waktu Ibunya sakit dulu.”

Akhirnya kami pun berangkat menuju Kuningan dengan mengendarai motor.

            Jalanan Jakarta hari ini cukup padat, meskipun kami pergi dihari minggu sekalipun. Kami akhirnya sampai ditempat tujuan setelah menempuh waktu sekitar satu setengah jam.

            Sesampainya kami disini, kami langsung mencoba bertamu terlebih dahulu sampai akhirnya kami menanyakan maksud kedatangan kami kesini. Setelah berbicara hampir setengah jam, aku menanyakan keberadaan Randy. Namun jawaban yang ku dapat sama seperti sebelumnya. Mereka tidak mengetahui keberadaan Randy, bahkan mereka tidak tahu kalau Ibunya Randy telah meninggal dan juga mereka tidak tahu kalau Randy telah hilang. Namun mereka memberikan kami saran alamat-alamat rumah saudara Randy yang lainnya. Kami pun akhirnya berpamitan dengan perasaan sangat kecewa karena tidak mendapatkan hasil.

            Namun Fitri tetap memberikan aku semangat, untuk tetap terus brejuang dalam pencarian ini.

            “Semangat yah San...”ucapnya memberiku semangat dengan senyuman manisnya. Senyuman yang membuat aku kadang merasa bahagia.

Kami pun melanjutkan perjalanan kebeberapa tempat sesuai alamat yang diberikan oleh saudara Randy yang kami temui didaerah Kuningan tadi.

Setelah mengunjungi beberapa tempat, kami tak kunjung mendapatkan informasi sedikitpun mengenai Randy. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pencarian ini. Hari ini kami habiskan waktu untuk pergi tanpa membuahkan hasil sedikitpun.

“Jadi sekarang gimana San?”  Dengan tatapan penuh prihatin ia menatapku.

“Gue juga bingung Fit, semua tempat udah kita kunjungin dan segala cara udah gue lakuin. Tapi...” Aku semakin merasah patah semangat, karena aku sudah kehabisan cara untuk bisa menyelesaikan masalah ini.

“Sabar yah San..” Ia melempar senyuman manis kepadaku. Senyuman yang membuatku sedikit bersemangat.

“Emangnya kenapa nggak lapor polisi ajah San?” Kata-kata yang sangat aku hindari ini malah terlontar dari bibir Fitri.

“Nggak mungkin”jawabku singkat dengan tatapan sinis.

“Kenapa nggak mungkin? Bukannya lebih baik ya? Kan mereka bisa lebih mudah buat nemuin Randy. Dan lu nggak perlu capek-capek lagi buat keliling nyariin dia”dengan mudahnya ia mengatakan hal demikian. Padahal ia tidak tahu, seberapa sulitnya aku menghindari hal tersebut. Menghindari berurusan dengan polisi, ataupun hukum.

“Gua bilang kan nggak mungin”aku meninggikan nada bicaraku.

Seketika raut wajah Fitri berubah. Dari yang awalnya tersenyum manis. Kini ia malah terlihat murung, bahkan terlihat raut ketakutan terselip di wajah manisnya tersebut.

Aku yang menyadari hal tersebut lantas langsung memintsung meminta maaf kepadanya. Aku merasa sangat bersalah karena telah membentaknya.

“Maaf yah.. kalau gue kasar sama lo. Maaff.. banget. Gue nggak bermaksud begitu. Mau kan maafin gue?”aku mengulurkan tangan kananku. Namun, ia masih saja terdiam dan menunduk. Aku mencoba menjelaskannya kembali, dan berusaha sebisa mungkin agaar ia tidak marah lagi.

“Gue nggak mau berurusan dengan polisi, karena lo tau kan? Randy yang menyebabkan Niko sampai seperti itu. Gue nggak mau, karena gue minta tolong polisi. Itu malah ngebuat Randy ditangkap polisi karena tindakannya tersebut. Gue nggak mau itu terjadi, nggak akan pernah mau. Maka dari itu, gua lebih memilih melakukan hal yang jelas-jelas ngebuat gue capek dibanding gue harus ngebuat Randy kenapa-kenapa.”jelasku, berharap ia bisa mengerti.

“Karena gue punya prinsip. Gue cuma ingin melihat orang disekitar gue bahagia meskipun diri gue menderita”tambahku

“LO TUH EGOIS SAN!!” Seketika ia mengangkat kepalanya dan seketika itu pula tanpa sebab ia memaki ku dengan nada tinggi. Aku pun langsung termangu karena ucapannya tersebut. Kenapa ia bisa berbicara seperti itu kepadaku? Batinku.

“Maksud lo apa? Kenapa gue yang egois? Gue nggak ngerti maksud lo” aku mencoba membela diri.

“Lo tuh nggak akan pernah bisa mengerti, karena lo itu egois. Orang egois itu bukan melulu karena ia mementingkan kepentingannya sendiri, tapi disaat lo juga lebih mementingkan orang lain, sedangkan diri lo itu tersiksa. Itu juga namanya egois!”

Seperti tersambar petir, suasana seketika tegang karena dentuman petir yang menyambar tubuhku. Aku pun langsung terdiam membisu. Bibir ini tak bisa berkata apa-apa lagi. Yang aku tahu, kini hatiku merasakan sesuatu hal yang sangat membuatku sungguh merasa bersalah.

“Emangnya kayak gitu namanya juga egois ya?”aku masih mencoba mengelak.

“San, kita ini hidup harus seimbang, adil dan tidak terlalu berlebihan. Ada kalanya kita mementingkan orang disekitar kita, karena mereka membutuhkan kita. Tapi.. ada kalanya pula kita harus mementingkan diri kita sendiri. Setelah kita udah mentingin orang lain, kita tentunya harus mementingkan diri kita sendiri. Itu tubuh lo, Allah nyiptain itu agar lo bisa ngejaganya. Jadi nggak ada alasan lo itu lebih mentingin orang lain, sedangkan diri lo itu ngebutuhin lo. Lo harus adil sama tubuh lo dan juga diri lo. Lo nggak boleh terlalu berlebihan juga.” Kali ini ia menjelaskan dengan nada yang lebih rendah dan tenang dari sebelumnya.

“Maafin gue Fit, kalau lo bilang gue ini egois. Maaf kalau selama ini pemikiran dan cara gue itu salah.”

“Seharusnya lo bukan minta maaf sama gue, tapi sama diri lo sendiri. Simpan aja maaf lo buat nanti, kali aja nanti lo butuh”jawabnya dengan sedikit tawa dibibirnya.

“Makasih yah.. lo udah ingetin gue” ucapku sambil tersenyum menatapnya.

“Sama-sama..”ucapnya dengan senyuman manisnya.

****

 “Akhirnya tuh anak pergi juga.. kelas kita jadi makin damai kalau kayak gini” ucap Agus sambil tertawa.

“Iya.. jadi nggak ada lagi yang bikin susah sekolah lagi dan nggak ada yang bikin susah kelas lagi.”Ibnu menimpali dengan ketus.

“Tapi jadi sepi nggak ada bahan ejekan”tambah ilham sambil tertawa terbahak-bahak.

Mereka yang menyadari aku sedari tadi menguping pembicaraan, langsung melihat kearahku.

“Eh eh.. ada temennya tuh”ujar Ibnu.

“Nggak apa-apalah, justru bagus dia denger, biar dia tahu kalau temennya itu emang nyusahin.” Agus sengaja meninggikan nada bicaranya.

“Heh! Kalian itu sebenernya punya hati nggak sih, temen lagi susah gitu malah dijadiin bahan ejekan”teriak Ella.

“Udah La, biarin aja.. sebahagia mereka ajalah” ucapku dengan masih duduk menghadap ke depan kelas. Ella lalu menghampiriku.”San, lo tuh jadi orang jangan diem aja kenapa sih, mereka itu udah kelewatan. Lo tuh ketua kelas, lo juga harus tegas!!” entah apa yang dimaksud oleh Ella, tetapi perkataannya kali ini memang benar.

Akibat perkataan dari Ella, akhirnya aku pun beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri teman-temanku yang tengah bergerumul di sudut ruangan.

“Mau kalian sebenernya apa sih? Orangnya nggak masuk-masuk dipermasalahin, sekarang orangnya udah keluar dari sekolah, masihh... juga dipermasalahin”aku menatap mereka satu per satu dengan tatapan tajam. Namun, tak ada dari mereka yang takut dan mengerti. Mereka malah tetap bersikeras membela diri.

“Denger yah San, gue tahu lo itu temennya dia, tapi lo juga harus tegas. Dari awal lo selalu belain dia terus, tanpa lo mikir posisi lo, tanpa lo mikir keadaan kelas. Lo mau marahin kita? Kami nggak takut, karena bagi kami solidaritas kelas itu lebih penting. Dan bagi kami pula, lo itu jadi pemimpin nggak bisa tegas, lo pengecut, lo nggak bisa mengambil keputusan dengan bijak.” Agus berbicara mewakili sekumpulan tersebut sambil berdiri menghadapku.

Aku yang awalnya ingin memarahi balik, malah akhirnya merenung dan kembali ketempat dudukku tanpa memberikan jawaban sedikitpun.

Aku merenungi apa yang telah Agus katakan kepadaku. Sebegitu salahkah gue? Batinku sambil menatap ke atap kelas.

****

Ponsel ku tiba-tiba berdering, ku lihat ada SMS dari Fitri

“San, hari ini lo jadi kan ajak gue jenguk Niko?”

Setelah beberapa hari semenjak hari dimana aku memakinya, kami sudah tidak bertemu lagi maupun berhubungan kontak. Dan jauh sebelum terakhir kali kami bertemu, aku telah berjanji akan mengajaknya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Niko.