Bersatu Seperti Siklus Kondensasi

24/12/2013 17:51

Liburan semester telah tiba, aku memutuskan untuk beristirahat dirumah setelah merasa lelah dengan kegiatan - kegiatanku selama disekolah. Awal liburan aku hanya mengisinya dengan bermain dengan teman-teman sekitar rumahku, atau membantu nenekku dirumah.

 

***

 

Niko

 

Liburan semester ini, aku berniat memperdalam keagamaanku, aku hanya mengisi waktu luangku dengan mengaji, karena seingatku selama aku mulai disibukkan kegiatan-kegiatanku disekolah, aku hampir sangat jarang mengaji lagi. Jadi, kuputuskan untuk mengisi waktu luangku dengan hal-hal positif, mengaji, mengisi acara-acara yang mengarah ke agama. Daripada aku harus berfoya-foya dengan teman-temanku, yang hanya bisa menghabiskan duit selama liburan, pikirku.

 

Ketika aku tengah selesai mengaji, aku menghampiri bapakku yang tengah duduk di teras rumah, sambil menyeruput secangkir teh panas, aku duduk disampingnya. Sore itu cuaca sedikit mendung, membuat suasana menjadi sejuk. Melihat kehadiranku disampingnya bapak melempar sekilas senyum ke arahku.

“Udah selesai ngaji? ” tanya bapak seraya meletakkan cangkir teh itu di atas meja, “Udah pak, tadi hanya baca beberapa ayat aja” jawabku singkat, bapak hanya menganggukkan kepalanya, aku merasa sudah jarang mengobrol dengan bapak, dan duduk santai seperti saat ini, ya semua juga karena kesibukanku disekolah baruku.

“Gak bosan dirumah aja?” tanya bapak memulai pembicaraan, walau dalam nada sedikit acuh tak acuh padaku, aku hanya tersenyum datar, sebenarnya bapak adalah pribadi yang cuek dan tegas pada anak-anaknya, dia enggan berbicara jika hal itu tak penting menurutnya, jadi ketika berbicara dengannya aku harus pandai-pandai menentukan topik yang menurutnya penting untuk dibicarakan, tak jauh beda denganku.

“Emang mau kemana pak? Habis-habisin duit aja”

“Ya mana tahu kamu bosen, namanya juga manusia, butuh liburan juga. Tapi bagus juga sih, kamu punya pemikiran seperti itu, lebih baik melakukan hal-hal positif daripada menghambur-hamburkan duit untuk hal yang tidak penting” balas bapak dengan tatapan datar.

“Iya pak, aku juga bingung dengan pemikiran anak-anak jaman sekarang, gak tau hal apa yang membuat mereka bisa puas, duit mereka hanya dihabiskan untuk  memuaskan nafsu semata, minum-minuman, jalan-jalan gak ada tujuan dengan sekelompok geng yang mereka buat sendiri, apalagi untuk bersenang-senang dengan pacarnya, apa di otak mereka duit hanya berguna untuk hal seperti itu?”

“Hmm, itu kan semata-mata untuk melampiaskan kepuasan dunia, jiwa muda yang melekat pada diri mereka, belum bisa dicegah, apalagi pemikiran mereka belum panjang untuk kedepannya, lalu beberapa faktor yang mendukung mereka melakukan hal-hal seperti yang kamu bilang tadi, biasalah, seharusnya kamu mengerti apa yang mereka rasakan, kamu juga kan masih muda, kalau pun kamu memiliki perasaan seperti mereka itu sebenarnya wajar” ujar bapak, aku hanya tertawa kecil.

“Ntah kenapa, aku gak pernah berpikir seperti itu pak, gak tau kenapa jiwaku tidak mengerah ke hal seperti itu, ya memang terkadang rasa ingin seperti itu memang ada, tapi insyallah masih bisa aku cegah” jawabku lagi.

“Bapak bingung dengan kamu, kamu masih sangat muda tapi kamu bisa melawan keinginan negatif anak muda jaman sekarang, tapi bapak salut sama kamu, kamu sudah bisa memilih hal yang benar untuk diri kamu dan masa depan kamu, bapak juga tidak terlalu khawatir lagi dengan kamu, semoga kamu bisa mempertahankan prinsip kamu itu, jadilah sosok pemuda yang baik, yang bisa menyeimbangkan dunia dan akhirat”  tegas bapak.

Aku hanya menganggukkan kepalaku, apa yang dikatakan bapak benar, aku harus punya prinsip dan mempertahankan prinsip itu. bagiku pribadi hal seperti itu tidak penting, masih banyak hal yang harus ku pikirkan untukku saat ini, kebutuhan ku masih banyak, dan ada saatnya nanti aku bersenang-senang seperti itu, dengan hal positif dan tidak terlalu ria hanya semata-mata memuaskan nafsu duniawi. Cita-citaku masih panjang, masih banyak yang ingin ku raih, dan aku harus mulai bisa me-manage kehidupanku sendiri.

Insyallah pak, aku tidak akan menjadi generasi muda seperti kebanyakan anak muda jaman sekarang, mungkin memang belum terlalu sempurna, masih banyak yang kurang dari diriku, tapi aku selalu mikir panjang dan gak mau sia-siain hidup aku dengan hal seperti itu, dan aku juga mau bapak dan ibu bangga”

Bapak hanya mengangguk, mungkin setuju dengan kata-kataku “Bapak selalu dukung apapun cita-cita anak bapak, yakin doa bapak dan ibu selalu menyertaimu Nik, lakukan terus hal-hal positif, bersenang-senang boleh aja, tapi ingat siapa kamu, jangan terlalu lalai dengan dunia. Dan satu hal, kamu juga harus dan butuh liburan lah, jangan dirumah terus, jalan sama temen-temen kamu, sesekali tidak terlalu menjadi masalah”

“Iya pak, ada saatnya nanti, lagian belum ada temen yang ngajak jalan” jawabku, bapak kembali menyeruput teh nya.

Inilah yang membuatku sangat senang dan nyaman mengobrol dengan bapak, walaupun terlihat dingin dan cuek, tapi penegasan-penegasan yang selalu bapak beri padaku itu yang membuatku nyaman ketika sharing dengannya, bapak selalu memberikan nasehat-nasehatnya padaku dan mendukung setiap apapun yang kulakukan.

***

 

Insan

 

Ketika aku sedang asik memutar-mutar siaran tv diruang tengah, nenek duduk disebelahku dan menyapaku.

“Liburan di rumah aja San? Gak jalan-jalan kamu?”

“Mau jalan kemana nek? Abis-abisin duit aja, hehe”

“Ya masa dirumah aja, jalan sama temen barunya lah, atau kamu belum punya temen baru disekolah ya setelah satu semester?” ledek nenek yang membuat ku tercengang, nenekku memang senang sekali meledekku, aku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan sedikit menggelengkan kepala. Tetapi kata-kata nenek ada benarnya juga, dan membuat ku berpikir tentang Rainni, sahabat-sahabat baruku.

    Setelah memikirkan kata-kata nenek, aku berniat untuk mengajak kedua sahabatku liburan, untuk memperkuat chemistry diantara kami, akhirnya aku mengirim pesan kepada Niko dan Randy, aku juga ingin lebih dekat dan mengenal mereka secara pribadi.

Awalnya aku sulit mengajak Niko, begitupun dengan Randy, ntah mengapa kali ini Randy sulit diajak pergi, aku pikir dia akan senang ternyata cukup sulit juga mengajak mereka setelah akhirnya aku harus meyakinkan mereka agar tidak menolak ajakanku, aku menjelaskan pada mereka tentang tujuanku mengajak Rainni liburan, setelah lama berpikir akhirnya mereka berdua pun setuju dengan ideku, dan kami memutuskan untuk berkumpul didepan sekolah besok, aku mulai memikirkan tempat yang asik untuk berlibur dengan mereka.

 

Kami memutuskan pukul 10.00 pagi sudah berkumpul di tempat yang kami janjikan, tepat jam sepuluh pagi aku berangkat dari rumah, karena memang jarak rumah dan sekolahku hanya beberapa meter.

Dari kejauhan aku sudah melihat Niko menunggu didepan sekolah sambil melipat tangan didada, dan bersender di gerbang sekolah. Dengan terburu-buru aku menghampiri dan menyapanya, “Maaf Nik telat, lu cepat amat datang” ujarku, dia hanya melemparkan senyum datar, “Lah kan emang jam segini perjanjiannya” jawabnya singkat.

Aku hanya mengangguk, ternyata Niko memang orang yang sangat tepat waktu, berbeda halnya dengan Randy, sudah hampir setengah jam kami menunggu belum terlihat juga , lima menit kemudian ia datang dengan senyuman tak bersalah.

“Maaf gua telat bro, udah lama kalian nunggu?” sapanya sambil menepuk bahuku dan Niko, Niko hanya diam, masih dengan sifat dinginnya, “Yey, lu emang hobinya telat” jawabku mencairkan suasana, kemudian kami bergegas pergi dari tempat itu.

 

***

 

Kami memutuskan untuk pergi ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kami memilih tempat itu karena menurut kami hanya tempat itu yang cocok untuk kami kunjungi, tak ada perdebatan dalam hal memilih tempat, semua aku yang mengusulkan dan mereka hanya menyetujui ideku.

Selama diperjalanan, aku, Randy dan Niko terlihat canggung kembali, mungkin karena kami belum terlalu sering menghabiskan waktu bertiga untuk liburan, aku juga melihat Randy hari ini kurang ceria tidak seperti biasanya, ntah mengapa aku agak sedikit melihat perubahan dalam diri Randy, ntah ini hanya perasaanku atau memang begitu adanya. Tetapi Randy juga sesekali memberikan lelucon-lelucon yang dilontarkannya tanpa sengaja, akhirnya dapat sedikit mencairkan suasana dan membuatku tertawa, begitupun dengan Niko, walau tidak terlalu lepas sepertiku, tapi aku dapat melihat sekilas senyum yang tergambar di bibirnya, mendengar kata-kata Randy yang sedikit blak-blakan.

 Tak tahu mengapa aku sedikit lega melihat Niko dapat tersenyum karena Randy, sepertinya Niko mulai sedikit terlihat akrab dengan Randy, aku berharap liburan hari ini bisa menyenangkan dan bisa membuat kami lebih dekat lagi, terutama menghilangkan sifat dingin Niko.

“Eh Nik, lu kok cuma senyum aja? Ngomong kek, gak disekolah gak liburan, lu pelit banget ngomong, mahal amat tuh suara” ujarku menyenggol bahu Niko, Randy tertawa.

“Alah San, lu kayak kagak tau Niko aja, dia emang gitu, sok cool banget jadi orang, apalagi sama gue sensi banget” balas Randy

“Gue males aja ngomong sama si Randy” jawab Niko datar dan melemparkan senyum sinis pada Randy, Randy mulai kebingungan, aku melihat kedua sahabatku dengan bingung juga, kemudian tak tahu angin apa Niko tertawa, walau tidak terlalu keras tapi ini kali pertama aku melihat Niko benar-benar tertawa pada Randy.

“Lu kenapa sih Nik? Tetep aja sensitif ama gua. Iri lu ye sama gue?”

“Idih ogah iri sama lu, lagi ngapain gua harus banyak ngomong sama orang gak jelas kayak lu” ujar Niko lagi, kali ini dengan nada bicara bercanda.

“Emang bener, si Randy kalau ngomong emang rada-rada gak penting” balasku yang semakin membuat Randy kesal. Karena kalah Randy hanya terdiam lagi, biasanya dia selalu membalas tiap ledekan-ledekan kami, tapi kali ini berbeda, dia memilih diam. Ada apa dengan Randy hari ini?

Perjalanan ke TMII sedikit terhalang karena macetnya Jakarta apalagi hari liburan yang semakin menambah kemacetan ibukota. Walaupun kami memutuskan naik bussway, tetap saja jika sudah macet parah seperti ini bussway pun ikut terjebak macet.

Kali ini Randy mengomel lagi “Nih mau liburan aja ribet banget, pake acara macet lagi, bt gue di bussway lama-lama, sumpek” ujar Randy kesal, ia tak perduli walau orang-orang disampingnya mendengar ocehannya itu.

“Nikmati aja kali Ran, bawel banget lu jadi manusia, kalau gak mau kejebak macet gak usah jalan-jalan” ujarku lagi.

“Ini yang bikin gue males ngomong sama lu, selalu bahas hal-hal gak penting” sambung Niko. Randy hanya diam lagi dan memasa bodokan ucapan Niko. Aku juga lebih memilih diam dan memainkan hpku.

Sesekali aku melirik orang yang berdesakan di bussway ini, mataku terpaku pada seorang cewek disampingku, sepertinya wajah itu tidak asing, aku mencoba memutar memory otakku mengingat wajah gadis itu, beberapa detik aku memandangnya kemudian dia melihatku. Dia terlihat menyipitkan matanya, lalu tersenyum, tak salah lagi itu teman SMP ku Fitri! Akupun membalas senyuman itu.

“Insan!!” ujarnya menyapaku dengan senyum, dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman, aku juga membalas uluran itu, Niko dan Randy terlihat sedikit bingung dengan sosok gadi yang menyapaku ini, lalu mereka memberiku sedikit privacy.

“Apa kabar Fit?” tanyaku dengan sopan,

 “Baik kok, lu gimana kabarnya?”

“Sama kayak lu kok, baik aja gue mah, hehe” Setelah beberapa menit bercerita tentang sekolah dan hal-hal lain, akhirnya kami sampai ditempat tujuan, ini menjelaskan bahwa aku dan Fitri akan berpisah, karena tujuan kami tak sama, lalu kami meutuskan untuk bertukan nomor hp, dan berjanji akan saling berhubungan dan tak hilang kontak, aku hanya menyetujui dan menyimpan nomornya di hpku.

Sampailah kami ketempat tujuan, Taman Mini Indonesia Indah, sekarang pukul 12.00 siang, hampir 2 jam perjalanan. Sebelum kami memulai liburan hari ini, kami mencari tempat makan siang yang murah dan cocok untuk keuangan kami yang memang pas-pasan, karena kami harus menghemat dan tak mau menghabiskan uang hanya untuk makan, yang penting perut tidak lapar sudah cukup, niat kami hanya untuk liburan bukan mengisi perut, apalagi aku, aku hanya membawa uang yang sangat pas-pasan saja. Tetapi tidak terlalu menjadi halangan buatku, walau hanya membawa sedikit uang, tetapi aku sudah terbiasa hidup hemat sejak kecil, jadi mudah bagiku memanage semuanya.

Akhirnya kami memutuskan untuk makan disalah satu warung nasi yang sederhana, ketika menunggu pesanan datang aku melihat sekeliling warung makan itu, ada satu hal yang membuat mataku tak dapat terlepas dari pemandangan manis itu, keluarga kecil yang tengah makan siang di warung ini juga, terdapat satu keluarga yang sangat bahagia, sepasang suami istri dan dua orang anak, aku terhenyak melihat kejadian itu, tak dapat kutahan perasaan sedih yang melanda hatiku melihat anak kecil itu sedang dipangku oleh ibunya dan ibunya membelai rambut sang anak dengan penuh kasih sayang, aku merasa setets air mata menetes dipipiku aku tersadar dan cepat-cepat aku menghapusnya, aku terus memandang keluarga kecil yang bahagia itu. Ayah.. mama.. kapan? kapan aku bisa merasa sebahagia itu? Sedekat itu?

“Eh San, lu kenapa melamun gitu? Sedih banget muka lu gua liat” Randy membuyarkan lamunanku, aku tersadar dan cepat-cepat menghapus sisa-sisa linangan air mataku yang hendak keluar.

“Gak papa kok” jawabku singkat dan mengalihkan pembicaraan, untungnya ada Niko yang membawa kami pada topik lain, aku tahu Niko melihat aku yang sedang melamun beberapa menit yang lalu, tapi dia memutuskan untuk tak mempersoalkannya.

 Niko memulai pembicaraan, aku berusaha menjadi seperti sedia kala dan melupakan kesedihan sesaatku tadi.

“Cewek di bussway tadi siapa San?”

“Temen gue pas SMP Nik” jawabku,

“Oh, gue pikir mantan lu hehe” sambung Randy

“Sotoy lu” jawabku, dia hanya tertawa pelan, aku mengalihkan pembicaraan agar kedua sahabatku tak membahas Fitri lagi, karena pada dasarnya aku tak terlalu suka membahas tentang teman-teman cewekku. Untungnya makanan datang dan kami fokus dengan makanan kami, tanpa sadar rasa lapar sudah menggelitik perutku.

 

***

 

Setelah menunaikan ibadah solat Dzuhur, kami memulai perjalanan, kami berjalan mengelilingi TMII, melihat-lihat apa saja yang dapat dilihat dan dikunjungi, sesekali Randy mengeluarkan kameranya dan mulai mengabadikan setiap moment di kamera kecilnya itu, aku sedikit melihat Randy sudah menjadi dirinya yang ceria lagi, tidak seperti tadi, untunglah.

Randy memohon agar kami mau berfoto, memang menurutku diantara kami yang sedikit narsis adalah Randy seorang, aku dan Niko hanya geleng kepala melihat tingkahnya.

“Kita tuh liburan, bukan lagi nyari tugas, jangan kaku banget dong guys, come on, it’s holiday, masa foto aja gak mau, ya gak ada yang berkesan dong, ah payah!” Lagi-lagi anak satu itu komplain. Niko dengan gaya cueknya menaikkan sebelah alisnya “You dont say??” Randy pun menyerah, lalu beralih padaku.

“San, lu mau dong foto sama gue” Randy merangkul pundakku,

“Pingin banget?” tanyaku jahil

“Gak usah pake nanya deh” ujarnya, aku berpikir sesaat, lalu mengangguk

“Hanya beberapa jepret tak masalah, boleh lah. Bener kata lu, kita kan lagi liburan, ayolah Nik” Aku menyenggol bahu Niko, Randy sedikit tersenyum, akhinrnya berhasil membujukku, dia mengeluarkan kameranya yang sudah dipersiapkan dari rumah.

“Etdah baru nyadar gue lu bawa kamera Ran, haha bagus dah” ujarku yang baru sadar Randy membawa kamera, Randy tak menghiraukan ucapanku, dia menyalakan kameranya, mengambil beberapa foto di museum, tempat pertama yang kami kunjungi, ditempat ini ada banyak aneka ragam serta budaya seperti wayang, pementasan-pementasan dari berbagai daerah. Tak lupa Randy mengabadikan pementasan wayang itu dengan kameranya, sesekali Randy memberi kameranya padaku tanda ia ingin di foto. Akhinrnya aku berhasil membujuk Niko untuk berfoto, tetapi asalkan tidak sendiri melainkan bertiga, aku meminta tolong pada salah satu pengunjung untuk mengambil foto kami bertiga, akhirnya satu foto Niko sudah berhasil tersimpan di kamera Randy. Randy terlihat puas.

Setelah beberapa menit di museum itu kami merasa sudah bosan lalu kami bergegas menjelajahi tempat lain, TMII terlihat begitu ramai, matahari sangat terik, butiran-butiran keringat mulai membasahi baju yang kami kenakan, tetapi tidak menjadi alasan untuk mengakhiri liburan ini, disinilah aku dapat merasa sangat dekat dengan kedua sahabatku, tetapi masih ada yang membuatku bingung, bukan Niko melainkan Randy, walaupun dia berusaha seceria biasanya, tetapi aku tetap melihat perbedaan dari dirinya hari ini, ya benar, pasti ada satu hal yang mengganggunya atau memang mungkin ini hanya perasaanku.

Seperti saat ini, Randy terlihat sedang memikirkan sesuatu, aku jadi kesal dengannya, kenapa dia bersifat seperti ini saat kami tengah liburan,

“Lu kenapa sih Ran? Perasaan lu gak mood gitu, gak kayak biasa, lu bilang kita disini liburan kan? Tapi kenapa lu yang gak ngenakin banget dari tadi?” ujarku dengan nada kesal.

“Apaan sih lu San, gue biasa aja perasaan, lu gak tau apapun tentang gue, lu gak ngerti kalau lu ada diposisi gue, gak usah sok tau deh.” Jawabnya juga mulai emosi, untungnya Niko cepat mengambil tindakan untuk menyudahi pertengkaran aku dan Randy.

“Udah deh, apaan sih lu berdua. Kayak anak-anak aja, udah SMA juga. Jalan lagi yuk” Niko berujar, aku pun memutuskan untuk mengikuti apa kata Niko, mungkin memang aku yang terlalu emosi tetapi ya sudahlah aku tak ingin hari ini menjadi berantakan.

“Maaf Ran, gua gak maksud nynggung perasaan lu” kataku,

“Hm.. iya gak apa - apa San gua ngerti” jawabnya dan keadaan menjadi kembali normal. Niko sudah mulai membuka pembicaraan di antara kami, dan melontarkan lelucon-lelucon kecil, aku dan Randy pun membalas lelucon-lelucon yang dilontarkannya.

Kami terus berjalan melihat –lihat sekitar TMII itu, kami mampir ke toko souvenir , melihat berbagai cendra mata yang menarik, banyak sekali benda-benda unik disana, aku, Randy dan Niko memutuskan membeli sebuah gantungan kunci yang sama. Karena memang modelnya yang khas itu membuat kami tertarik.

*****

    Kami beralih ke rumah adat yang terdapat di Taman Mini ini, rumah-rumah adat ini banyak mengambil perhatian banyak pengunjung, termasuk aku dan kedua sahabatku, Randy masih dengan kameranya tak lupa mengambil foto dari setiap rumah-rumah itu. Ketika kami asik melihat - lihat berbagai bentuk rumah adat itu, ada seorang wanita memakai baju kaos hijau pendek dengan celana jeans ketat yang menyapa kami.

"Haiii..." Sapa wanita tersebut.

Kami bertiga langsung terdiam sejenak memasang wajah heran, karena merasa asing dengan seseorang yang baru saja memanggil kami.

"Kok kalian malah bengong sih? ada yang salah?"Tanya nya heran.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku mengenali wanita tersebut, dan ia adalah Dea, teman seangkatan kami, walau berbeda kelas, tapi kami saling kenal.

"Emm.. Dea ya?"tanya ku heran sambil menunjuk ke arahnya.

"Ya iyalah.. emangnya siapa? gitu aja kok nggak ngenalin sih?" tanya nya dengan memasang wajah sebal sambil memalingkan muka.

"Hehehe.. Maaf deh, habisnya beda aja" ucap ku sambil menggarukkan kepala.

"Beda kenapa?" Dea langsung memperhatikan penampilannya sendiri.

"Nggak pake kerudung?" tanya nya sambil memegang beberapa helai rambutnya.

Aku pun hanya tersenyum menanggapinya, Dea langsung merasa malu karena di bilang seperti itu.

Dea langsung menanggapi senyuman ku dengan melontarkan alasannya. "Gua kalau pergi - pergi emang nggak pake kerudung San" ujarnya seraya tersenyum malu.

"Kenapa?" tanya ku heran.

Terlihat Dea sedikit bingung untuk menjawab pertanyaan ku kali ini, "Hmm.." baru saja bibirnya ingin mengucapkan sebuah alasan lagi, tiba - tiba Niko langsung memotong pembicaraan.

"Belum dapat hidayah? kampungan? kurang gaya gitu?atau..." sindir Niko dengan senyuman acuh yang selalu keluar dari bibirnya, lalu langsung memalingkan pandangannya dari Dea.

"Gerah kali...." celetuk Randy sambil tertawa terbahak - bahak.

Seperti aliran darahnya berhenti mengalir, bahkan lebih dari itu, tapi seperti tersambar petir, saat mendengar ucapan kedua sahabatku tersebut. Terlihat Dea langsung tercengang, ia langsung tertunduk malu, wajahnya merah. Setelah beberapa menit, ia tertunduk malu karena ucapanya tersebut, lalu mengangkat kepalanya.

"Gua cuma belum siap, rasanya belum pantes aja, mungkin lebih baik gua kerudungin hati gua dulu." ucapnya dengan wajah memelas.

Merasa tidak puas dengan jawaban Dea, dan merasa masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Niko akhirnya mempertanyakan sebuah pertanyaan yang akan memojokkan Dea lagi.

"Kesiapan dalam hal apa? apakah malaikat Izrail akan menanyakan usiamu, saat ajalmu telah tiba?" singgung Niko dengan kalimat yang lebih "pedas" dari sebelumnya.

Seakan telah berada di ujung tanduk, kini Dea hanya bisa terdiam dan termangu mendengar ucapan Niko tersebut. Tak lama kemudian, air matanya terlihat memerah, setelah beberapa saat air matanya pun berlinang.

"Tapi kan... masih lebih mending, di banding cewek yang pakai kerudung tapi kelakuan dan hatinya busuk" elak nya dengan harapan Niko akan berhenti memojokkannya.

"Masih mending?" Niko sentak kaget dan langsung memasang wajah heran seraya tersenyum acuh. Seakan belum puas, Niko masih melanjutkan sindirannya tersebut. "Sekarang banyak banget cewek yang memiliki alasan seperti itu, belum siap lah, mau perbaikkin diri dulu lah, dan banyak pula yang beralasan sebaliknya seperti yang lu bilang, banyak yang pakai kerudung, tapi pakai baju ketat, tapi rambutnya kemana - kemana, tapi masih suka melakukan hal - hal yang tidak baik. Perlu di garis bawahi, yang seperti itu bukan berhijab, yang namanya berhijab, ya menutupi aurat, bukannya masih menonjolkan, atau memperlihatkan, orang - orang sekarang tuh persepsinya berhijab ya menutupi rambut, sampai - sampai banyak yang bikin tren fashion berkerudung, padahal bukan seperti itu, dan yang namanya berhijab nggak harus menunggu menutup hati dulu lah, cukupah berakhlak, karena yang berhijab belum yentu berakhlak, tapi yang berakhlak sudah tentu berhijab." jelas Niko dengan tatapan sinisnya seraya melipat tangannya di dada.

Dea hanya bisa terdiam mendengar ucapan Niko, terlihat penyesalan di wajahnya, lemas, dan semakin bersedih.

"Udah - udah Nik, lu mah kebiasaan, anak orang di bikin nangis mulu" ucap ku seraya menjauhkan Niko dari Dea. Seakan mengerti maksudku, Niko pun sedikit menjauh dan berpaling.

Niko memang memiliki hobi yang menurut ku sedikit aneh, yaitu selalu mengomentari sesuatu ynag menurutnya salah, dan dia juga hobi menyindir orang dengan sindiran pedas nya, tak jarang yang menangis akibat sindirannya tersebut.

"Yaudah, sekarang lu lanjutin gih jalan - jalannya, fikirinnya nanti aja di rumah"ucap ku tersenyum seraya menepun pundakknya memberi isyaratnya untuk segera pergi, agar Niko tidak mengoceh lagi.

   Dengan mata yang sembab dan masih terurai air mata, Dea pun melangkah pergi meninggalkan kami untuk melanjutkan liburannya yang sempat tertunda karena kami, begitupun juga aku, Randy, dan Niko. Kami bertiga melanjutkan perjalanan mengelilingi rumah - rumah adat yang ada di taman mini ini.

******

Tak terasa hari semakin sore, sudah pukul 03.00 siang, setelah kami asik mengelilingi dan melihat-lihat rumah adat dari berbagai daerah, sudah tiga jam kami berada disini, karena merasa sangat lelah kami memutuskan untuk bertistirahat sebentar dibeberapa bangku-bangku yang disediakan.

Aku melihat Randy asik melihat-lihat hasil potretnya, aku hanya mengutak-atik hpku dan Niko hanya diam ssaja tanpa melakukan hal apapun. Kami sibuk dengan pikiran-pikiran masing-masing.

“Eum.. sebenarnya udah lama banget gua gak liburan kayak gini, bareng sahabat lagi. Thank’s idenya San” ujar Randy menepuk bahuku.

“Heum.. gue gini supaya Rainni tuh bisa saling mengenal, gue mau persahabatan kita tuh gak sia-sia, jujur gue udah mulai nyaman nih sama kalian, gue harap kalian juga udah ngerasa apa yang gue rasa.” Ujarku merangkul pundak Niko dan Randy.

“Hmm, walau gue sering cuek sama lu Ran, bukan berarti gue benci. Gue emang gini, maklum aja ya” Baru kali ini aku melihat Niko merangkul Randy.

“Ah lu mah, sama gua aja gitu mulu, sama Insan biasa aja, huh” Randy membantah.

“Yey, kenapa lu jadi bawa-bawa nama gue” ujar ku meledek, Niko hanya tersenyum sekilas penuh misteri, kami tak memperpanjang persoalan itu lagi, begitupun dengan Randy, ia mulai memaklumi sifat Niko padanya.

“Jujur gue juga senang dengan persahabatan ini, kita tuh saling melengkapi loh. Gak tau kenapa gue juga ngerasa nyaman sama lu berdua, Insan yang menurut gue bijak, selalu bisa bikin gue dan Niko gak berselisih paham, dan lo Nik, yang ‘jutek banget’ sama gua, but it’s oke, itu mah emang udah sifat lu, tapi Cuma argumentasi dari lu yang bisa buat gue sadar kalau gue ini emang terkadang ‘childish’ banget hehe” Randy mengeluarkan pendapatnya.

“Hmm, bagus deh kalau lu sadar, gue juga senang kok dengan persahabatan kita ini” ujar Niko singkat tanpa memberi penjelasan detail.

“Ya bagus kalau pada ngerasa gitu, abis ini kita kemana lagi?” tanyaku, karena jam terus berjalan, lalu Niko mengusulkan untuk naik kereta gantung, akhirnya setelah berpikir beberapa saat kami setuju, seru juga sepertinya naik kereta gantung dengan mereka.

Kami pun membeli karcis untuk menaiki kareta gantung, dan akhirnya kami mendapatkan tiket pada stasiun B. Ketika menaiki kereta gantung aku melihat panorama alam yang indah dari ketinggian beberapa meter ini, sejujurnya menaiki kereta gantung ini adalah kesenanganku, karena aku dapat menikmati berbagai keindahan yang dapat dilihat dari atas. Aku melihat kedua sahabatku pun sibuk melihat-lihat sekitar TMII dari atas sini, mungkin mereka juga sama seperti ku, menyukai melihat keindahan dari atas.

Setelah beberapa menit berada di kereta gantung ini, akhirnya kamipun turun di stasiun awal, kami sudah merasa puas hari ini, dan kami memutuskan untuk mengakhiri liburan kami, karena hari memang sudah semakin sore, kami melepas dahaga yang mencuat sejenak dengan memesan es kelapa di pondok-pondok yang menjual es kelapa tersebut.

“Huh capek gua,” keluhku sambil menyeruput es kelapa muda itu dengan cepat.

“Lain kali liburan lagi dong, ketempat lain” ujar Randy masih dengan es kelapa ditangannya, “Ya kalau gak ganggu sekolah dan masih terbilang hal positif gue mah oke-oke aja, tapi kalau liburan sekali lagi lu lebih ceria dong Ran, hari ini kayaknya lu kurang ceria deh, banyak diemnya” ujarku.

“Eumm, iyee.. lu gimana Nik?” Randy mengalihkan pembicaraan pada Niko,

“Boleh” jawab Niko yang singkat dan jelas. 

Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 sore, hari mulai mendung, rintikan gerimis - gerimis kecil mulai membasahi wajah kami, padahal tadi siang panas terik dan kini terbalas oleh sejuknya tetesan hujan, setelah menghabiskan es kelapa itu, kami pun menyudahi liburan hari ini dengan menyempatkan solat ashar di masjid, setelah itu kami pun bergegas pulang, walau hujan terlihat semakin deras itu tak jadi alasan, bagiku hujan ini rahmat, berbasah-basahan sedikit tak menjadi masalah besar bagiku dan kedua sahabatku.